BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesinergisitasan aktivitas gerak diatur oleh sistem persyarafan yang luar biasa kompleks. Sistem persarafan tersebut terdiri dari otak, medulla spinalis dan sistem syaraf perifer. Struktur-struktur ini bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengkoordinasikan aktivitas tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls saraf tersebut berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras secara langsung dan terus-menerus. Responnya seketika sebagai hasil dari perubahan potensial elektrik yang mentransmisikan sinyal-sinyal.
Secara umum semua rangsangan dari luar diterima oleh organ sensorik khusus yang dinamakan reseptor. Reseptor adalah organ akhir dari serat saraf aferen. Resetor ini terdiri dari reseptor pada kulit dan reseptor pada otot.
Suatu saraf terdiri dari satu atau lebih berkas serat saraf (akson). Sebuah saraf berukuran sedang dapat mengandung beribu-ribu serat saraf yang dikelilingi oleh selubung mielin dan beberapa diantaranya tak bermielin. Mielin adalah campuran senyawa lipid dan protein yang berfungsi untuk mempercepat konduksi. Konduksi ini menyebabkan rangsangan dapat segera dikirm menuju sistem saraf pusat untuk kemudian diproses dan menghasilkan respon gerak tubuh.
Apabila terjadi gangguan pada salah satu fungsi diatas maka hal tersebut akan mempengaruhi sistem gerak kita. Hal ini dapat mempengaruhi seluruh fungsi tubuh juga karena tak bias dipungkiri bahwa sistem persarafan menunjang kesiegenisitasan fungsi organ tubuh secara keseluruhan.
Banyak sekali sebab-sebab dan gejala dari gangguan sistem saraf yang sebenarnya amat penting untuk diwaspadai, namun karena kurangnya pengetahuan dari sebagian besar masyarakat kita maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan menjadi terabaikan.
Salah satu gangguan sistem persyarafan yang dapat terjadi adalah Guillain-Barre Syndrome. Guillain-Barre Syndrome (GBS; juga dikenal sebagai demielinasi polineuropati akut idiopatik) adalah dengan cepat, berkembang bentuk akut polyneuritis yang menghasilkan lembek, kelumpuhan sementara berlangsung selama 4 sampai 8 minggu. Motor, sensorik, dan fungsi otonom mungkin terlibat. Sindrom ini ditandai oleh peradangan difus atau demielinasi (atau keduanya) dari menaik atau menurun saraf perifer yang mengarah pada suatu penyakit virus dan kemudian kelumpuhan. Walaupun sindrom ini dianggap sebagai darurat medis, lebih dari 80% dari orang-orang yang terpengaruh dengan sindrom Guillain-Barre memulihkan kemampuan fungsional mereka sepenuhnya. Individu-individu yang tersisa memiliki beberapa derajat defisit neurologis setelah sembuh dari penyakit, yang mengakibatkan cacat kronis. Kurang dari 5% pasien dengan sindrom Guillain-Barre mati, dan biasanya, kematian berhubungan dengan komplikasi pernafasan.
Melihat komplektifitas masalah tersebut di atas, maka kami akan menyajikan salah satu gangguan sistem persyarafan yang dinamakan Guille Barre Syndrome yang mencakup etiologi, manifestasi klinis maupun asuhan keperawatan untuk dapat memberikan gambaran umum sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari dampak yang lebih buruk dari penyakit ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah:
a. Apa definisi dari Guille Barre Syndrome?
b. Apa dan bagaimana etiologi dari penyakit Guille Barre Syndrome?
c. Bagaimanakah Patofisiologi dan pohon masalah keperawatan penyakit Guille Barre Syndrome
d. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit Guille Barre Syndrome?
e. Bagaimana manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh penyakit Guille Barre Syndrome?
f. Bagaimanakah komplikasi penyakit Guille Barre Syndrome?
g. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit Guille Barre Syndrome?
h. Bagaimana asuhan keperawatan bagi penderita Guille Barre Syndrome?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah mendiskripsikan
a. Definisi dari Guille Barre Syndrome.
b. Etiologi penyakit Guille Barre Syndrome.
c. Patofisiologi dan pohon masalah keperawatan penyakit Guille Barre Syndrome
d. Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit Guille Barre Syndrome
i. Manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh penyakit Guille Barre Syndrome
j. Komplikasi penyakit Guille Barre Syndrome
k. Penatalaksanaan penyakit Guille Barre Syndrome?
l. Asuhan keperawatan bagi penderita Guille Barre Syndrome?
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini secara umum adalah dapat memberikan gambaran secara umum tentang penyakit Guille Barre Syndrome beserta asuhan keperawatannya kepada perawat khususnya dan petugas kesehatan lain pada umumnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Guille Barre Syndrome (GBS) merupakan reaksi inflamasi yang terjadi pada susunan saraf tepi dan spinal cord yang disebabkan oleh serangan sistem imun tubuh penderita. Penyakit ini ditandai dengan kelumpuhan dan rasa kaku pada kaki, tangan dan makin lama menyebar luas pada tubuh bagian atas dan wajah. Kehamilan dan tindakan medis seperti vaksinasi atau pembedahan kecil dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya penyakit ini. Di Amerika Serikat angka kejadian Guille Barre Syndrome (GBS) cukup sedikit sekitar 1 sampai 3 setiap 100.000 sedangkan di Indonesia belum diketahui secara pasti angka kejadiannya.
Guille Barre Syndrome (GBS) merupakan peradangan neuritis demielinasi (disebut juga polineuropati) progresif dan akut yang mengenai sistem saraf perifer yang dapat menyebabkan gangguan kelemahan neuromuskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total tetapi biasanya paralisis sementara
Guillain-Barre Syndrome adalah gangguan kelemahan neuromuskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis sementara. Terdiri dari beberapa fase :
• Fase awal mulai dengan munculnya tanda-tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2-3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang.
• Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu.
• Fase penyembuhan mungkin berakhir 4-6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis sisa yang menetap.
2.2 Etiologi
Para ilmuwan sampai saat ini belum bisa memastikan faktor apa yang menjadi penyebab dari Guille Barre Syndrome (GBS). Tetapi ada anggapan bahwa penyakit ini disebabkan oleh keabnormalan sistem imun tubuh penderita. Sistem imun tubuh merusak sistem pertahanan yang melindungi saraf tepi (selubung myelin) yang menyebabkan terganggunya proses peghantaran sinyal dari saraf ke otot. Ketika hal ini terjadi otot menjadi tidak dapat merespon informasi dari saraf, sehingga terjadi kekakuan dan kelumpuhan. Pada otak juga ikut merasakan sensasi demam sehingga akan menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan panas, dingin, nyeri dan sensasi yang lain.
Tanda-tanda yang dikenali sebelum GBS terjadi adalah infeksi akibat bakteri atau virus. Sekitar 2-3 orang penderita disertai penyakit yang disebabkan oleh infeksi seperti infeksi tenggorokan, diare, demam, atau flu yang terjadi 1 minggu sebelum GBS terjadi. Infeksi karena bakteri seperti Campylobacter bisa menyebabkan GBS yang dapat menimbulakan dampak yang lebih parah daripada yang lain karena langsung menyerang persyarafan. Selain itu yang dapat menjadi faktor penyebab adalah tindakan medis seperti pembedahan dan imunisasi untuk influenza tetapi kecil sekali kemungkinannya.
2.3 Patofisiologi dan Pohon Masalah Keperawatan
Gambar 2.2 Kerusakan selubung mielin
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
2.4 Manifestasi Klinis
Terdapat variasi dalam bentuk awitannya. Gambaran umum seperti influenza, mula-mula terdapat demam akut, penderita merasakan nyeri kepala dan seluruh badan. Baru setelah beberapa hari disadari adanya kelumpuhan otot. Terjadinya kelumpuhan simetris pada kedua tungkai, kaki, dan tangan , paling sering dimulai dari kaki dan naik mengenai tubuh, ekstremitas atas dan otot-otot fasialis (berlangsung secara asendens).
Selain itu terjadi gangguan sensibilitas seperti rasa nyeri, prestesi, berkurangnya rasa permukaan kulit pada bagian distal ekstremitas. Gangguan sensibilitas ini sering kali tidak begitu menonjol seperti pada polyneuritis dan cepat menghilang sehingga kadang-kadangsangat menyerupai poliomyelitis.
Keadaan yang sangat berbahaya terjadi bila ada kelumpuhan otot-otot pernapasan. Bila saraf otak terkena akan ditemukan kelumpuhan pada otot kuduk, leher dan muka. Gejala yang juga umum ditemukan adalah hipertensi, bradikardi, gagal nafas, dan gagal jantung pada fase akut. Beriku tabel penjelas yang dapat mempermudah mengenai manifestasi klinis GBS
Tabel 2.1 Manifestasi klinis GBS
No Sistem Manifestasi
1 Motorik : - Kelemahan otot secara ascending (dari distal ke proksimal) flaccid parolysis tanpa atropi otot
- Penurunan atau tidak adanya reflek tendon dalam
- Gangguan pernapasan (dyspnea, penurunan suara napas)
2 Sensori : - Paresthesis (kesemutan)
- Nyeri (cramping)
3 Syaraf kronialis - Kelemahan otot muka
- Disphagia
- Diplopia
No
Sistem Manifestasi
4 Syaraf otonom : - Tekanan darah yang labil
- Disritmia jantung
- - Takikardia
Pada umumnya GBS tidak mempengaruhi tingkat kesadaran, fungsi serebral dan tanda gangguan pada pupil.
2.5 Komplikasi
a. Gagal pernafasan
Komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal nafas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
b. Penyimpangan kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastic yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
c. Plasmaferesis
Pasien GBS yang menerima plasmaferesis beriko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat mengakibatkan hipotensi, takikardi, pening dan diaphoresis. Hipokalemi dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami peresis ekstremitas distal, kedutan otot, dan mual serta muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pungsi lumbal berurutan
Memperlihatkan fenomena klasis dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal.
b. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi ( getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
c. Darah lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
d. Foto rontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernafasan, seperti atelektasia, pneumonia.
e. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
2.7 Penatalaksanaan medis
GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien di unit perawatan intensif. Pasien yang mengalami masalah pernafasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk waktu yang lama. Plasmaforesis yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan buruk pada pasien dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol unutk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan unutk menghindari bradikardi selama penghispan endokranial dan terapi fisik.
a. Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmapheresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan/gejala.
Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari sistem imun) yang menyerang dan merusak lapsian myelin dan saraf-saraf perifer. Tidak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini, namun umumnya sekitar 3 – 5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah terapi selesai, pasien diberi 4 – 5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan faktor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3 – 5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai hari kelima maka terapi/tindakan ini tidak diulangi.
Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator. Masalah yang timbul dengan tindakan penggantian plasma antara lain:
- Biayanya mahal
- Dapat menyebabkan hipotensi, arrythmia, hematoma, thrombus dan komplikasi yang mengarah terjadinya sepsis.
- Membutuhkan perawat yang terampil.
b. Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut-turut.
c. Perawatan Supportif
1. Respirasi
- Monitor ketat frekuensi dan pola nafas
- Monitor oksimetri dan AGD
- Pernafasan mekanik : perawatan pasien dengan ventilator mekanik
2. Kardio Vaskular
- Monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR)
- Monitor tekanan darah (blood pressure)
3. Cairan, elektrolit dan nutrisi.
4. Sedative dan analgsik.
5. Perawatan secara umum
- Physioterapi
- Perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan.
- Pertahankan ROM sendi.
- Pertahankan fungsi paru.
- Kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- Pencegahan terhadap tromboemboli.
- Pemberian antidepressan jika pasien depresi.
BAB 3
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstrimitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kea rah atas. Hilangnya kontrol motorik halus.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris). Cara berjalan mantap.
b. Sirkulasi
Tanda : Perubahan tekanan darah (Hipetensi atau hipotensi).
Disritmia, takikardi / bradikardi Wajah kemerahan,
diaforesis
c. Integritas ego
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu konsentrasi pada masalah yang dihadapi
Tanda : Tampak takut dan bingung
d. Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan / cairan
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
f. Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari – jari kaki dan selanjutnya terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan).
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam
Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot –otot wajah, terjadi piosis kelopak mata (keterlibatan saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
g. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri tekanan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan
h. Pernafasan
Gejala : Kesulitan dalam bernafas, nafas pendek.
Tanda : Pernafasan perut, menggunakan otot Bantu nafas, apnea.
Penurunan / hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat / sianosis
Gangguan refleks gag / menelan / batuk.
i. Keamanan
Gejala : Infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira – kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Tanda : Suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan)
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parestesia.
j. Intraksi sosial
Tanda : Kehilangan kemapuan untuk berbicara / berkomunikasi
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran pernafasan atas, gastroenteritis), vaksinasi (campak, influenza, polio), keadaaan kronis (lupus eritematosus, penyakit Hodkin/ proses keganasan), pembedahan/anastesi, trauma umum.
3.2 Prioritas Keperawatan
a. Mempertahankan atau menyokong fungsi pernapasan.
b. Meminimalkan atau mencegah komplikasi
c. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat dan keluarga.
d. Mengendalikan atau menghilangkan nyeri
e. Memberi informasi tentang proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.
3.3 Tujuan Pemulangan
a. Fungsi pernapasan adekuat sesuai dengan kebutuhan individu.
b. Kebutuhan akan aktivitas sehari-hari dapat terpenuhi oleh diri sendiri atau dengan bantuan orang lain.
c. Komplikasi dapat dicegah atau dikontrol.
d. Kecemasan atau rasa takut menurun pada tingkat yang dapat ditoleransi
e. Nyeri menjadi minimal atau terkontrol
f. Proses penyakit atau prognosis, terapi dan kemungkinan adanya komplikasi dipahami.
3.4 Diagnosa Keperawatan dan intervensi keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1 : Pola napas atau bersihan jalan napas, tak efektif, berhubungan dengan kelemahan / paralisis otot pernapasan dan kerusakan reflek gag atau menelan.
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mendemostrasikan ventilasi adekuat dengan tak ada tanda distress pernapasan, bunyi napas bersih, dan GDA dalam batas normal.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau frekuensi kedalaman dan kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa. Peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik.
Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon pada T8 atau daerah lengan atas atau bahu. Penurunan sensasi seringkali (walaupun tidak selalu) mengarah pada kelemahan motorik; seperti kehilangan pada tingkat T8 dapat mempengaruhi otot interkostal. Oleh karenanya, tangan atau lengan yang terkena seringkali mengarah pada masalah gagal napas.
Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara (kalau pasien masih dapat berbicara). Merupakan indikator yang baik terhadap gangguan fungsi pernapasan atau menurunnya kapasitas vital paru.
Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronki, mengi. Peningkatan resistensi jalan napas dan/atau akumulasi sekret akan mengganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia).
Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi duduk bersandar. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret.
Evaluasi reflek batuk, reflek gag, atau reflek menelan secara periodik. Lakukan penghisapan sekret, catat warna dan jumlah dari sekret (sputum). Pertahankan puasa jika diperlukan. Jika otot kepala dan otot leher terkena, maka evaluasi ulang terhadap reflek tersebut harus dilakukan untuk mencegah aspirasi, infeksi pulmonal, dan gagal napas. Kehilangan kekuatan dan fungsi otot mungkin mengakibatkan ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan dan atau membersihkan jalan napas.
Teliti adanya laporan mengenai dispnea, nyeri dada, dan catat adanya peningkatan kegelisahan. Pasien ini sangat beresiko mengalami embolisme pulmonal (sebagai akibat dari pengumpulan vaskuler dan imobilisasi), yang memerlukan intervensi segera dan sokongan terhadap pernapasan untuk mencegah komplikasi yang serius atau kematian.
Pantau kapasitas vital, volume tidal, dan kekuatan pernapasan sesuai kebutuhan. Mendeteksi perburukan dari paralisis otot dan penurunan upaya pernapasan.
Siapkan untuk/ pertahankan intubasi, ventilator mekanik sesuai kebutuhan. 10%-20% pasien mengalami gangguan pernapasan yang cukup berarti yang memerlukan intervensi atau sokongan yang terus-menerus.
Berikan perawatan trakheostomi jika ada. Mungkin diperlukan untuk penatalaksanaan jalan napas dan sekresi. Trakeostomi “untuk bicara” mungkin diperlukan untuk memfasilitasi komunikasi, meskipun adanya kelemahan pada otot dan sekret yang timbul terus-menerus dapat membatasi keefektifannya.
Kolaborasi
Lakukan pemantauan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur. Menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan untuk keefektifan dari intervensi.
Lakukan tinjau ulang terhadap foto X-ray. Adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan/atau atelektasis.
Berikan terapi suplementasi oksigen (yang telah dilembabkan) sesuai indikasi, dengan menggunakan cara pemberian yang sesuai, seperti kanula, masker oksigen, atau ventilator mekanik. Mengatasi hipoksia. Pelembaban terhadap sekret (agar mudah dikeluarkan) dan menjaga kelembaban membran mukosa karena hal tersebut dapat menurunkan iritasi jalan napas.
Berikan obat atau bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan pernapasan, perkusi dada, vibrasi, dan drainase postural. Memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisasi sekret dan meningkatkan ekspansi alveoli paru.
Berikan terapi melalui tempat tidur kinetik sesuai indikasi. Pergerakan atau perubahan posisi yang kontinu dapat digunakan untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi dari bagian-bagian paru dan untuk mobilisasi sekret. Hal ini dapat menurunkan atelektasis dan resiko terjadinya infeksi paru dan emboli.
Diagnosa Keperawatan 2 :
Perubahan persepsi-sensori berhubungan dengan
1. Perubahan resepsi, transmisi, dan integrasi sensori
2. Perubahan status organ indera.
3. Ketidakmampuan berkomunikasi, bicara atau berespons.
4. Perubahan kimia (hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit).
Kemungkinan dibuktikan oleh :
1. Hipoestesia atau hiperestesia; nyeri.
2. Perubahan respon umum terhadap rangsang.
3. Inkoordinasi motorik.
4. Gelisah, peka rangsang, ansietas.
5. Perubahan pola komunikasi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori.
2. Pasien dapat mempertahankan mental atau orientasi umum.
3. Pasien dapat mengidentifikasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan atau komplikasi sensori.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau status neurologis secara periodik (seperti kemampuan bicara, kemampuan berespon pada perintah yang sederhana dan berespon terhadap stimulasi nyeri; kesadaran akan keadaan panas atau dingin, tumpul atau tajam). Laporkan semua penemuan tersebut dalam tatanan yang teratur dan sistematik. Perkembangan dan munculnya kiembali tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringkali cukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari atau minggu. Proses penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit berakhir dan kebanyakan secara perlahan. Catatan yang teratur sangat membantu dalam perawatan untuk menemukan adanya komplikasi yang memerlukan intervensi atau evaluasi selanjutnya.
Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara, seperti metode kedipan (non verbal), dengan papan bergambar atau dengan huruf-huruf. Jika gejala tersebut berkembang dengan lambat, pasien dapat membantu untuk menciptakan metode komunikasi alternatif. Jika prosesnya cepat (beberapa jam atau hari), upaya yang konsisten dan konstan pada semua staf sangat diperlukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif.
Berikan lingkungan yang aman (penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal). Catat adanya kekurangan pada papan di ruangan untuk mewaspadakan semua staf mengetahuinya, seperti “adanya kehilangan sensasi dibawah........”. Kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari pemberian asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma.
Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien. Menurunkan stimulus berlebihan yang dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping.
Orientasikan kembali pasien pada lingkungan dan staf sesuai kebutuhan. Membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan.
Berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut; jam (waktu); televisi (berita atau pertunjukan); bercakap-cakap santai. Pasien (biasanya sadar) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan.
Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga. Membantu orang terdekat merasakan masuk didalam hidup pasien (menurunkan perasaan tidak berdaya atau tiada harapan) dan menurunkan kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut.
Tutup mata dengan cara memutar jika ada ptosis. Mempertahankan masukan penglihatan disamping menurunkan resiko terjadinya abrasi kornea.
Kolaborasi
Rujuk ke berbagai sumber penolong untuk membantu, seperti terapi fisik atau terapi okupasi atau terapi wicara, ahli agama, pelayanan sosial, departemen rehabilitasi. Semua pelayanan mengkoordinasikan usaha untuk meningkatkan proses penyembuhan atau meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis.
Bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan. Penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, fibrinogen dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien klasifikasi “berat” jika penanganan dalam 2 minggu.
Berikan obat sesuai kebutuhan, seperti :
Gamma globulin dosis tinggi melalui IV. Suatu hasil riset menyarankan hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat.
Kortikosteroid Penggunaannya masih kontroversial. Dapat memperbaiki gejala akut dengan mensupresi respon autoimun tetapi tidak tampak memberikan hasil yang diharapkan.
Diagnosa Keperawatan 3:
Perfusi jaringan, perubahan, resiko tinggi terhadap
1. Disfungsi sistem saraf autonomik, yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena.
2. Hipovolemia.
3. Berhentinya aliran darah vena (trombosis).
Kriteria Hasil : Pasien dapat mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol atau tak ada.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien. Perubahan pada tekanan darah (hipertensi berat atau hipotensi) terjadi sebagai akibat dari kehilangan alur dari saraf simpatik untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer (disfungsi otonom). Refleks pada tekanan darah saat perubahan posisi dapat terganggu yang menyebabkan terjadinya hipotensi postural.
Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia. Sinus takikardi atau bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf autonom simpatis atau tidak adanya hambatan terhadap refleks vagal yang menyebabkan henti jantung. Disritmia dapat juga terjadi sebagai akibat dari hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit atau penurunan cutah jantung (dampak sekunder pada gangguan tonus vaskuler dan arus balik vena).
Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman, berikan atau tanggalkan selimut, gunakan kipas angin ruangan dan sebagainya. Perubahan pada tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu (seperti, ketidakmampuan untuk berkeringat) dan pasien mungkin akan terpengaruh dengan suhu lingkungan sekitarnya. Penghangatan dan/atau pendinginan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah trauma karena kepanasan atau kedinginan karena banyak pasien kemungkinan telah mengalami gangguan sensasi.
Catat masukan dan keluaran. Relaksasi tonus vaskuler, perubahan cairan dan penurunan masukan oral dapat menurunkan volume sirkulasi dan secara negatif akan mempengaruhi tekanan darah dan keluaran urine.
Ubah posisi pasien secara teratur. Observasi adanya tanda-tanda iritasi pada kulit. Lakukan masase kulit diatas daerah yang menonjol. Pertahankan linen tetap kering, dan tata tidak ada lipatan-lipatan. Cuci dan bersihkan kulit dengan sabun yang lunak dan beri bedak (talk). Berikan pengalas pada kulit sesuai kebutuhan. Perubahan sirkulasi atau pengumpulan vaskuler dapat mengganggu perfusi seluler yang meningkatkan resiko iskemia atau kerusakan jaringan.
Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut atau kaki. Observasi adanya edema pitting (cekung), eritema atau adanya tanda Homan positif. Kehilangan tonus vaskuler dan vena yang statis meningkatkan resiko terbentuknya formasi trombus. Catatan: TVD (yang mungkin hilang sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman) dan menyebabkan emboli paru jika tidak terdeteksi dan ditangani dengan segera.
Kolaborasi
Berikan pengobatan:
Cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi Diperlukan untuk mengoreksi atau mencegah hipovolemia atau hipotensi tetapi harus digunakan secara berhati-hati sebab pasien dengan gangguan tonus vaskuler sensitif pada adanya peningkatan yang kecil dalam volume sirkulasi.
Beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek. Kadang-kadang digunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau gangguan mediasi autonom.
Heparin Digunakan untuk menurunkan resiko tromboflebitis.
Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti Hitung Darah Lengkap atau Hb/Ht, elektrolit serum. Hematokrit bermanfaat dalam menentukan hipovolemia atau hipervolemia. Hiponatremia dapat berkembang yang mengisyaratkan adanya komplikasi SIADH.
Berikan matras dengan tekanan pada tempat-tempat tertentu (matras angin yang bergelombang), terapi tempat tidur kinetik (tempat tidur yang dapat digerakkan atau diubah posisinya), sesuai kebutuhan. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah komplikasi pada kulit. Catatan: terapi kinetik diperkirakan secara lebih besar untuk meningkatkan perfusi atau fungsi organ dan untuk menurunkan komplikasi sebagai akibat dari imobilisasi.
Pakai stoking anti emboli atau alat pemijat kontinu; lepaskan sesuai jadwal dengan interval tertentu. Meningkatkan arus balik vena, menurunkan keadaan vena statis dan menghindari resiko terjadinya pembentukan trombosis.
Diagnosa Keperawatan 4 : Kerusakan atau gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan koordinasi (paralisis parsial atau komplit) dan penurunan tonus otot.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi (kontraktur, dekubitus).
2. Pasien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit.
3. Pasien dapat mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktivitas yang diinginkan.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji kekuatan motorik atau kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pegkajian secara teratur dan bandingkan dengan nilai dasarnya. Menentukan perkembangan atau munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan atau harapan pasien.
Catatan: Quadriplegia (paralisis simetris) umumnya terjadi dan membutuhkan intervensi yang menyeluruh.
Berikan posisi pasien yang memberikan rasa nyaman. Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual. Menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia atau kerusakan pada kulit.
Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trokhanter roll, papan kaki. Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis; mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi sendi.
Lakukan latihan rentang gerak pasif. Hindari latihan pasif selama fase akut. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi. Catatan: latihan yang dipaksakan dapat menimbulkan eksaserbasi gejala yang menyebabkan regresi fisiologis dan emosi. Persendian juga dapat mengalami dislokasi sehingga otot mengalami flaksid secara total. Memaksimalkan tenaga dan mencegah kelelahan yang berlebihan.
Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan. Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi, karenanya dapat memperpanjang waktu penyembuhan.
Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual, seperti duduk di sisi tempat tidur dengan sokongan, bangkit dari kursi, dan kemudian ambulasi sesuai kemampuan. Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap atau terprogram, meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif.
Berikan lubrikasi atau minyak artifisial sesuai kebutuhan. Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh yang halus ketika pasien tidak dapat menutup atau mengedipkan mata secara memadai.
Kolaborasi
Konfirmasikan dengan atau rujuk ke bagian terapi fisik atau terapi okupasi. Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual atau latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasikan alat bantu atau brace untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Diagnosa Keperawatan 5 : Konstipasi atau diare berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (kehilangan sensasi dan refleks anal), imobilitas dan perubahan pada masukan diet atau cairan.
Kriteria Hasil : Pasien dapat mempertahankan pola eliminasi usus tanpa ileus.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (tentunya jika pasien dapat menelan). Dapat melunakkan feses dan memfasilitasi eliminasi.
Berikan privasi dan posisi fowler pada tempat tidur (jika memungkinkan) dengan jadwal waktu secara teratur. Meningkatkan usaha evakuasi feses.
Auskultasi bising usus, catat adanya, atau tidak adanya, atau perubahan bising usus. Penurunan atau hilangnya bisisng usus dapat merupakan indikasi adanya ileus paralitik yang berarti hilangnya motilitas usus dan keseimbangan elektrolit. Hiperperistaltik mungkin akan tercatat jika ada diare sebagai efek samping dari makanan melalui selang NG atau karena terapi kinetik.
Catat adanya distensi abdomen, nyeri tekan (otot abdomen yang lemas). Ukur lingkar perut sesuai kebutuhan. Dapat mencerminkan perkembangan ileus paralitik atau adanya impaksi fekal.
Pantau adanya mual, muntah, penghentian feses. Kecepatan perkembangan pada ileus yang komplit dapat bervariasi tetapi dapat diperkirakan.
Periksa kembali adanya kesulitan defekasi karena feses yang keras atau karena penurunan atau sampai pada tidak adanya feses atau diare. Pengeluaran feses secara manual dengan hati-hati mungkin perlu, yang dilakukan bersamaan dengan intervensi lain untuk menstimulasi pengeluaran feses.
Kolaborasi
Beri obat pelembek feses supecitoria, laksatif, atau penggunaan selang rektal sesuai kebutuhan. Mencegah konstipasi, menurunkan distensi abdomen, dan membantu dalam keteraturan fungsi defekasi.
Tingkatkan diet makanan yang berserat atau perubahan kecepatan dan jenis dari makanan sesuai dengan kebutuhan. Membantu dalam mengatur konsistensi fekal dan menurunkan konstipasi (diare, konstipasi).
Pasang atau pertahankan selang NG jika ada kebutuhan. Menurunkan mual dan muntah dan melakukan dekompresi pada distensi abdomen yang berhubungan dengan hilangnya peristaltik, munculnya ileus paralitik.
Diagnosa Keperawatan 6 : Retensi urinarius berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (kehilangan sensasi dan refleks sfingter) dan imobilitas.
Kriteria Hasil : Pasien dapat mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih adekuat atau tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Catat frekuensi dan jumlah berkemih. Memberikan informasi selama pengkajian dari fungsi kandung kemih.
Lakukan palpasi abdomen (diatas suprapubik) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih. Jika refleks sfingter tidak ada, kandung kemih akan penuh dan selanjutnya akan menjadi distensi.
Anjurkan pasien untuk minum paling tidak 2000 ml atau dalam batas toleransi jantung dan termasuk juga minum juice buah (contoh: krenberi) Mempertahankan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan resiko infeksi serta pembentukan batu pada saluran perkemihan.
Lakukan manuver Crede. Tekanan manual diatas kandung kemih dapat memfasilitasi pengosongan kandung kemih tersebut.
Kolaborasi
Lakukan kateterisasi pada residu urine (kateterisasi intermiten) sesuai kebutuhan. Memantau keefektifan dari pengosongan kandung kemih.
Pasang atau pertahankan kateter indwelling sesuai kebutuhan. Diperlukan untuk menanggulangi adanya retensi urine atau sampai terjadinya resolusi (perbaikan) dari GBS dan adanya perbaikan adekuat dari kontrol kandung kemih.
Diagnosa Keperawatan 7 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskular yang mempengaruhi refleks gagal atau batuk atau menelan dan fungsi GI.
Kriteria Hasil : Pasien dapat mendemonstrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk, pada keadaan yang teratur. Kelemahan otot dan refleks yang hipo/hiperaktif dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NGT dan sebagainya.
Auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi abdomen. Perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis atau imobilisasi.
Catat masukan kalori setiap hari. Mengidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya.
Catat makanan yang disukai atau tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang dikehendakinya. Berikan makanan setengah padat atau cair. Meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak atau setengah padat menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan. Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan atau yang menyenangkan bagi pasien untuk terus berusaha sendiri. Beri bantuan atau beri makanan sesuai kebutuhan. Derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri. Harga diri dan perasaan kontrol oleh upaya yang diarahkan sendiri meskipun bila sangat terbatas.
Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi pada waktu makan, seperti memberi makan dan membawa makanan kesukaan pasien dari rumah. Memberikan waktu bersosialisasi yang dapat meningkatkan jumlah masukan makanan pada pasien.
Timbang berat badan setiap hari. Mengkaji keefektifan aturan diet.
Kolaborasi
Berikan diet tinggi kalori atau protein nabati, seperti eggnog. Makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
Pasang atau pertahankan selang NGT. Berikan makanan enteral atau parenteral. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu untuk menelan (atau jika refleks menelan atau gag mengalami kerusakan). Untuk pemasukan makanan, kalori, elektrolit, dan mineral.
Diagnosa Keperawatan 8 :
Ansietas (krisis situasional dan ancaman kematian), dapat berhubungan dengan:
1. peningkatan tegangan, gelisah, tak berdaya.
2. ketakutan tidak pasti, gelisah.
3. berfokus pada diri sendiri.
4. rangsangan simpatis.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat menerima dan mendiskusikan rasa takut.
2. Pasien dapat mengungkapkan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
3. Pasien dapat mendemonstrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
4. Pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur. Kaji kembali kemampuan pasien untuk menggunakan alat panggil lampu secara reguler. Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
Berikan perawatan primer atau hubungan staf perawat yang konsisten. Meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan.
Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan. Menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi.
Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyembuhan atau perbaikan. Membawa perasaan takut secara terbuka, memberikan kesempatan untuk mengkaji persepsi atau informasi yang salah dri pasien dan memberikan jalan dalam pemecahan masalah pada keadaan yang diharapkan.
Berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat. Pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakukan aktivitas. Pelibatan pasien dan orang terdekat dalam perencanaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap diri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
Diagnosa Keperawatan 9:
Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, dapat berhubungan dengan:
1. Sensasi nyeri akibat sentuhan kulit halus.
2. Sakit, nyeri tekan pada otot atau sendi.
3. Perubahan tonus otot (flaksid, spastik).
4. Perilaku melindungi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol.
2. Pasien dapat mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
3. Pasien dapat mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Evaluasi derajat nyeri atau rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10. Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut (wajah tampak menahan sakit, menarik diri atau menangis). Menganjurkan pasien untuk “melokalisasi atau mengetahui kuantitas” nyeri yang menunjukkan adanya perubahan dan perbaikan.
Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakannya. Menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut.
Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual. Membantu pasien mendapatkan kontrol perasaan tidak nyaman secara konstan yang disebabkan oleh parestesia dan menurunkan kekakuan atau nyeri pada otot.
Lakukan perubahan posisi secara teratur. Berikan sokongan dengan bantal, busa atau dengan selimut. Membantu menghilangkan kelelahan dan tegangan otot.
Catatan: kadang-kadang pasien menghendaki untuk berbaring terlentang dalam posisi “frog-leg” (posisi seperti katak).
Berikan latihan rentang gerak secara pasif. Menurunkan kekakuan pada sendi.
Anjurkan atau instruksikan untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti visualisasi (menonton), latihan relaksasi yang berkembang, bimbingan imajinasi, biofeedback. Memfokuskan kembali secara langsung dari perhatian atau persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
Berikan obat analgesik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika. Berguna untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah dicoba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik (kecuali codein yang memiliki efek lebih kecil) harus dihindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan.
Bantu dengan terapi-terapi alternatif, seperti ultrasound, diatermia, dan menggunakan unit TENS. Kadang-kadang bermanfaat dalam menghilangkan ketidaknyamanan pada otot.
Diagnosa Keperawatan 10:
Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi, prognosis, dan tindakan berhubungan dengan
1. Kurangnya pemajanan.
2. Kesalahan interpretasi informasi.
3. Tidak mengenal sumber informasi.
4. Kurang mengingat atau keterbatasan kognitif.
Yang dibuktikan oleh:
1. Meminta informasi.
2. Pernyataan salah konsepsi.
3. Terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat berpartisipasi dalam proses belajar.
2. Pasien mulai perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam upaya rehabilitasi sebagai kemampuan individual.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Tentukan tingkat pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi. Mempengaruhi pilihan terhadap intervensi yang akan dilakukan.
Tinjau kembali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya. Berikan literatur dalam bentuk tulisan mengenai masalah-masalah tersebut diatas. Pengetahuan dasar merupakan hal yang penting untuk membuat pilihan informasi dan berpartisipasi dalam upaya rehabilitasi. Meskipun gejala itu telah berlalu, pengaruh sisi mungkin masih tetap ada selama beberapa minggu, beberapa bulan bahkan mungkin lebih lama dari itu.
Anjurkan untuk mengungkapkan apa yang dialami, bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya. Meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada.
Identifikasi tindakan yang aman untuk menentukan defisit sensorik-motorik secara individual. Menurunkan resiko terjadinya trauma atau komplikasi yang sebenarnya masih dapat dicegah.
Bekerja dengan orang terdekat untuk menentukan peralatan yang diperlukan dalam rumah sebelum pasien pulang. Jika pasien dapat kembali ke rumah, perawatan dapat difasilitasi dengan alat bantu untuk mobilisasi, makan, dan mandi.
Tekankan pentingnya menghindari seseorang yang mengalami infeksi terutama infeksi pada saluran pernapasan atas. Pasien mengalami penurunan daya tahan tubuhnya dan beresiko mengalami infeksi.
Instruksikan dan bantu pasien atau orang terdekat dalam mempelajari rentang gerak dan latihan yang terkondisi, teknik memindahkan, mekanika tubuh yang baik, penggunaan alat bantu dan sebagainya. Meningkatkan kemandirian dan penyembuhan yang berkelanjutan. Proses ini seringkali berlangsung 4-6 minggu untuk remielinisasi dan sampai 2 tahun jika timbul quadriplegia.
Tinjau kembali tanda dan gejala yang memerlukan tindakan medis, seperti proses infeksi (infeksi saluran kemih, ISPA), retensi urine, konstipasi. Intervensi segera dapat mencegah atau meminimalkan komplikasi.
Diskusikan kebutuhan akan kontrol penyakit yang rutin. Perlu sekali untuk memantau perbaikan, mengidentifikasi kebutuhan terapi dan meningkatkan secara optimal proses penyembuhan. Penyembuhan biasanya baik, dengan berbagai derajat kelemahan atau atrofi, meskipun 1/3 mengalami gejala sisa yang menetap (hiperrefleksia, atrofi, kelemahan otot bagian distal, paresis pada wajah).
Rujuk pada sumber-sumber yang ada di komunitas, seperti homepice, pelayanan sosial, yayasan GBS (bila ada) Dukungan mungkin diperlukan oleh pasien dalam menata rumah dan sebagainya.
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Guille Barre Syndrome adalah sindrom klinik yang penyebabnya masih belum diketahui secara pasti. Tetapi biasanya berhubungan dengan infeksi saluran nafas bagian atas atau virus traktus gastrointestinal yang menyebabkan transmisi impuls saraf diantara nodus perifer lambat. Sindrom ini berkembang dengan cepat tapi reversibel dengan karakteristik gangguan motorik dan paralisis. Penyakit ini dapat terjadi di usia muda atau tua, namun pada usia tua masa penyembuhannya biasanya relatif lebih lama.
Manifestasi klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini bervariasi dalam bentuk awitannya. Gejala neurologi diawali dengan paraestesia dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Gejala yang dapat timbul adalah hipertensi, bradikardi, gagal nafas dan jantung pada fase akut. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan resiko ketidakmampuan.
Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan ini antara lain pungsi lumbal berurutan, elektromiografi, pemeriksaan darah lengkap, foto roentgen dan pemeriksaan fungsi paru.
Asuhan keperawatan yang dilakukan terhadap penderita berorientasi untuk mengurangi dampak penyakit pada klien terhadap gangguan yang ditimbulkan. Diantaranya adalah gangguan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan aktivitas, gangguan pernafasan dan perfusi jaringan, perubahan persepsi sensori, gangguan pencernaan dan urinari, serta kecemasan yang dialami klien.
4.2 Saran
a. Perlu adanya keterlibatan keluarga dan kesabaran dalam penatalaksanaan penyakit ini karena fase pemulihan yang memakan waktu lama.
b. Peningkatan edukasi pada pasien dan keluarga dapat membantu proses pemulihan pada pasien secara umum.
c. Perlu adanya peningkatan keahlian dan pengetahuan bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan untuk klien GBS.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito L.J., 1998, Nursing Diagnosis Aplication to Clinical Practice, J.B. Lippincott Company, Phildelphia.
Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993.
Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Doris Smith Suddarth RN., 1991, The Lippincott Manual of Nursing Practice, 5th Edition, JB. Lippincott Company, Philadelphia.
Hudak dan Gallo, 1996, Perawatan Kritis, Edisi VI, Volume II, Penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002
TEOH, 1990, Intensive Care Manual, Third Edition, by Globe Press, Australia
Tucker,Susan Martin, Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
www.cdc.gov/flu/protect/vaccine/guillainbarre.htm
http://cuitytea.blogspot.com/2011/02/askep-pada-pasien-gbs.html
www.cdc.gov/flu/protect/vaccine/guillainbarre.htm
http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/gbs.htm
http://askep-askep.blogspot.com/2009_12_01_archive.html
http://duniakeperawatan2011.blogspot.com/2011/04/askep-gbs.htm askep GBS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lucky Club Live Casino Site - Lucky Club Live
BalasHapusEnjoy live casino games from the very best provider of live casino software providers. Enjoy the best in live casino games luckyclub from around the world!What is Lucky Club?How many players does Lucky Club provide?