Laman

Selasa, 14 Juni 2011

ASKEP DIFTERI

BAB I
KONSEP DASAR


A. Pengertian
1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005).
4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtriae (Rampengan, 1993).
5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004).
6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).



B. Etiologi dan klasifikasi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60ยบ C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.

C. Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 dalam www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.









Pathway Keperawatan


D. Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
1. Demam yang tidak terlalu tinggi
2. Denyut jantung cepat
3. Lesu dan lemah
4. Menggigil
5. Mual muntah
6. Nyeri saat menelan dan anoreksia
7. Pucat
8. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
9. Sakit kepala
10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
11. Sesak nafas
12. Serak

E. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu :
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
2. Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
3. Sistemik
a. Kardiovaskuler
1) Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau adanya aritmia menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas:
a) Gangguan kondiksi .
b) Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
c) Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2) Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a) Timbul setelah masa laten
b) Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik
c) Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
b. Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1) Paralisis atau parese palatum mole
a) Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b) Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung.
c) Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.

2) Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3) Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan meninggal.
4) Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
c. Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau tidak.

F. Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
1. Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
2. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya.
3. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
5. Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.



G. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
b. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
1) Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
2) Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
3) Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.
2. Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu dilakukan trakheostomi).

H. Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
1. Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1 ½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
2. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negative.
3. Pencarian seorang karier difteri
Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan tonsilektomi.
4. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri.


I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam, bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S (FKUI, 1999)
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIFTERI

A. Pengkajian
Menurut Doenges (1994), pengkajian pada pasien difteri meliputi :
1. Aktivitas / istirahat
a. Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
b. Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing.
c. Fatigue.
d. Insomnia.
e. Berat badan menurun.
2. Sirkulasi
a. Nadi meningkat, takikardi.
b. Aritmia.
3. Nutrisi
a. Anoreksia
b. Sulit menelan / sakit.
c. Turgor kulit menurun
d. Edema laring, faring
e. Berat badan menurun.
4. Pernafasan
a. Sulit bernafas
b. Produksi sputum meningkat.
c. Dypsneu.
d. Pada tenggorok ada luka.
e. Edema mukosa laring, faring.
f. Pembesaran kelenjar getah bening leher.
g. Pernafasan cepat dan dangkal.
h. Dada : penggunaan otot bantu pernafasan.
Auskultasi : terdengar wheezing.
5. Interaksi sosial
a. Merasa tergantung.
b. Pembatasan mobilitas fisik
6. Data Penunjang
a. Laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium difteri.
b. EKG : Low voltage, depresi segment ST, gelombang T terbalik.

B. Diagnosa
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat sakit dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anaknya.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

C. Intervensi
Dx 1 : Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy selama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang ditunjukan dengan Respiratory status : Airway patency dengan skala 4.
NOC : Respiratory status : Airway patency
a. Frekuensi pernafasan dbn
b. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan
c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
d. Tidak ada suara nafas tambahan
e. Bernafas mudah
f. Tidak ada dyspnea
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Oxygen theraphy
a. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea
b. Pertahankan jalan nafas yang paten
c. Monitor aliran oksigen
d. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
e. Monitor adanya suara nafas tambahan

Dx 2 : Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang terapi nutrisi selama 1 X 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditunjukan dengan status nutrisi berskala 4.
NOC : Status nutrisi
a. Laporkan nutrisi adekuat
b. Masukan makanan dan cairan adekuat
c. Energi adekuat
d. Massa tubuh normal
e. Ukuran biokimia normal
Skala
Skala 1 = Sangat berbahaya
Skala 2 = Berbahaya
Skala 3 = Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4 =Sedikit berbahaya
Skala 5 = Tidak berahaya
NIC : Terapi Nutrisi
a. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung masukan kalori tiap hari
b. Tentukan makanan kesukaan dengan mempertimbangkan budaya dan keyakinannya
c. Tentukan kebutuhan pemberian makan melalui NGT
d. Dorong pasien untuk memilih makanan yang lunak
e. Dorong masukan makanan tinggi kalsium

Dx 3: Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manajemen nyeri dan manajemen analgetik selama 1 x 24 jam didharapkan nyeri berkurang atau hilang yang ditunjukkan dengan kontrol nyeri meningkat dan skala nyeri menurun, dengan skala 4.
NOC I : Kontrol nyeri
a. Ketahui faktor penyebab nyeri
b. Ketahui permulaan terjadinya nyeri
c. Gunakan tindakan pencegahan
d. Gunakan analgetik secara tepat
e. Laporkan gejala
f. Laporkan kontrol nyeri
NOC II : Tingkat Nyeri
a. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
b. Frekuensi nyeri berkurang
c. Lama nyeri berlangsung
d. Ekspresi wajah saat nyeri
Skala
Skala 1= Tidak terasa nyeri
Skala 2 = Jarang terasa nyeri
Skala 3 =Kadang-kadang terasa nyeri
Skala 4 = Sering terasa nyeri
Skala 5 =Terus-menerus terasa nyeri
NIC I : Manajemen Nyeri
a. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus nyeri
b. Observasi ketidaknyamanan non verbal
c. Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal relaksasi, guided imageri, terapi music dan distraksi
d. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan
e. Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi
NIC II : Manajemen analgetik
a. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri sebelum mengobati pasien
b. Cek obat meliputi jenis, dosis dan frekuensi pemberian analgetik
c. Cek mengenai riwayat alergi obat.
d. Tentukan jenis analgetsik (narkotik, non-narkotik, NSAID) di samping tipe dan tingkat nyeri.
e. Tentukan analgetik yang tepat, cara pemberian dan dosisnya secara tepat.
f. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah pemberian analgetik.
Dx 4: Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang selama 1 X24 jam diharapkan koping keluarga menjadi efektif ditunjukkan dengan koping keluarga berskala 4.
NOC : Koping Keluarga
a. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
b. Tidak ada depresi
c. Mampu mengelola masalah
d. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu
Skala
Skala 1= Sangat berbahaya
Skala 2= Berbahaya
Skala 3= Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4= Sedikit berbahaya
Skala 5=Tidak berahaya
NIC : Family Support
a. Dengarkan perasaan keluarga.
b. Bangun hubungan kepercayaan dengan keluarga.
c. Sediakan keluarga informasi tentang perkembangan pasien.
d. Sertakan anggota keluarga untuk mermbuat keputusan tentang perawatan pasien.
e. Gunakan mekanisme koping adaptif.
f. Hargai dan dukung mekanisme koping yang adaptif yang digunakan oleh keluarga.
g. Sediakan umpan balik untuk memperhatikan koping keluarga.
h. Konsultasikan dengan anggota keluarga untuk menambahkan koping yang efektif.

Dx 5 : Kecemasan keluarga berhubungan dengan status kesehatan anaknya.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengenai teknik menurunkan cemas selama 1 X 24 jam diharapkan kecemasan keluarga berkurang ditunjukan dengan kontrol cemas berskala 4.
NOC : Kontrol Cemas
a. Monitor intensitas cemas
b. Hilangkan penyebab cemas
c. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas
d. Cari informasi untuk menurunkan cemas
e. Gunakan strategi koping yang efektif
f. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas
Skala :
Skala 1 = tidak pernah dilakukan
Skala 2 = jarang
Skala 3 = kadang-kadang
Skala 4 = sering
Skala 5 = selalu dilakukan
NIC : Menurunkan Cemas
a. Ciptakan hubungan saling percaya
b. Kaji tingkat kecemasan
c. Anjurkan keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat.
d. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama
e. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.
f. Anjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang isi perasaannya.

Dx 6. :Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang pendidikan kesehatan mengenai proses penyakit selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dan keluarganya dapat mengerti atau lebih paham mengenai penyakitnya ditunjukkan dengan Proses openyakit berskala 4.
NOC : Proses Penyakit
a. Kenal nama penyakit
b. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
c. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
d. Dapat menjelaskan tanda dan gajala penyakit
e. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
f. Dapat menjelaskan prognosis penyakit
Skala
Skala 1 = Tidak mengetahui
Skala 2 = Terbatas pengetahuannya
Skala 3 = Sedikit mengetahui
Skala 4 = Banyak pengetahuannya
Skala 5 = Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pendidikan Kesehatan
a. Identifikasi faktor dalam atau luar untuk menambah / meningkatkan motivasi mengenai tingkah laku kesehatannya.
b. Tentukan hubungan individu dengan latar belakang sosial budaya pada individu, keluarga atau masyarakat mengenai tingkah laku kesehatannya.
c. Hindari menggunakan teknik menakut-nakuti untuk memotivasi orang mengubah tngkah laku / gaya hidup sehatnya.
d. Kembangkan materi pendidikan dengan penulisan masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama (difteri)
e. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.
Dx 7 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen jalan nafas selama 1 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas pasien efektif ditunjukkan dengan Airway patency berskala 4.
NOC : Airway patency
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
b. Menunjukakan jalan nafas yang paten
c. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Air way management
a. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
b. Auskultasi suara nafas
c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
d. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
e. Moniror respirasi dan starus O2
f. Lakukan fisioterapi dada untuk mengeluarkan sekret

Dx 8 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang tentang pengendalian infeksi selama 1 x 24 jam diharapkan infeksi pada pasien tidak terjadi ditunjukkan dengan pasien terhindar dari infeksi dengan skala 4.

NOC : Pengendalian resiko
a. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
b. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
c. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
d. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengendalian infeksi
a. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
b. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
c. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko perforasi.
d. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
e. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Dx. 9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen energi selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami kelemahan ditunjukkan dengan konservasi energi berskala 4..
NOC : Konservasi energi
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
b. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
NIC : Managemen Energi
a. Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas
b. Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
c. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi
d. Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas
e. Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.
f. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.





D. Evaluasi
Kriteria Hasil Skala
Dx 1
1. Frekuensi pernafasan dbn 4
2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan 4
3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas. 4
4. Tidak ada suara nafas tambahan 4
5. Bernafas mudah 4
6. Tidak ada dyspnea 4
4
4
4
4
4
4

Dx 2
1. Laporkan nutrisi adekuat 4
2. Masukan makanan dan cairan adekuat 4
3. Energi adekuat 4
4. Massa tubuh normal 4
5. Ukuran biokimia normal 4
4
4
4
4
4
Dx 3
1. Ketahui faktor penyebab nyeri 4
2. Ketahui permulaan terjadinya nyeri 4
3. Gunakan tindakan pencegahan 4
4. Gunakan analgetik secara tepat 4
5. Laporkan gejala 4
6. Laporkan kontrol nyeri 4
7. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang 4
8. Frekuensi nyeri berkurang 4
4
4
4
4
4
4
4
4

Dx 4
1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
2. Tidak ada depresi
3. Mampu mengelola masalah
4. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu

4

4
4
4
Dx 5
1. Monitor intensitas cemas
2. Hilangkan penyebab cemas
3. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas
4. Cari informasi untuk menurunkan cemas
5. Gunakan strategi koping yang efektif
6. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas

4
4
4
4
4
4
Dx 6
1. Kenal nama penyakit
2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala penyakit
5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
6. Dapat menjelaskan prognosis penyakit
4
4
4
4
4
4
4

Dx 7
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
2. Menunjukakan jalan nafas yang paten
3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas

4

4
4

Dx 8
1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
2. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal

4
4
4
4
Dx 9
1. Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
2. Mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
3. Mekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
4. Merpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
5. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri
4
4
4

4
4
4





DAFTAR PUSTAKA

Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com. 7 juni 2008.www.medicastrore.com

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008

Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.
www.who.lat/immunization/tipics/diphteria/en.7 juni 2008

Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan UI

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC

Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.

Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni 2008

Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto. Keperawatan

ASKEP BRONKITIS

BAB I
KONSEP DASAR

A. Definisi
Secara harfiah Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya inflamasi pada bronkus. Secara klinis para ahli mengartikan Bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan respiratorik dengan batuk merupakan gejala yang paling utama dan dominan(Ngastiah, 1997)
Bronkhitis adalah hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain (Perawatan Medikal Bedah 2, 1998)
Bronkitis merupakan Inflamasi luas jalan nafas dengan penyempitan atau hambatan jalan nafas dan peningkatan produksi sputum mukoid, menyebabkan ketidakcocokan ventilasi, perfusi, dan menyebabkan sianosis. Ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai dengan pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahunnya dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun
Bronkitis adalah suatu peradangan dari bronkioli, bronkus dan trakea oleh berbagai sebab. Bronkitis akut adalah penyakit infeksi saluran nafas akut (inflamasi bronkus) yang biasanya terjadi pada bayi dan anak yang biasanya juga disertai dengan trakeitis (Ngastiyah; 1997; 36).
Bronkitis biasa juga disebut dengan laringotrakeobronkitis akut atau croup dan paling sering menyerang anak usia 3 tahun (Ngastiyah; 1997; 37).
Jadi bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis dapat bersifat akut maupun kronis. Bronchitis akut adalah peradangan bronki dan kadang-kadang mengenai trakea yang timbul secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh perluasan infeksi saluran napas atas seperti common cold atau dapat juga disebabkanoleh agen fisik atau kimia seperti: asap, debu, atau kabut yang menguap. Sedangkan bronchitis kronis adalah gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan pada bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selam sedikitnya tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut.

B. Etiologi dan Klasifikasi
1. Etiologi
Penyebab utama penyakit Bronkitis Akut adalah adalah virus. Sebagai contoh Rhinovirus Sincytial Virus (RSV), Infulenza Virus, Para-influenza Virus, Adenovirus dan Coxsakie Virus. Bronkitis Akut selalu terjadi pada anak yang menderita Morbilli, Pertusis dan infeksi Mycoplasma Pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer Bronkitis Akut pada anak. Di lingkungan sosio-ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksi saluran napas atas dapat memudahkan terjadinya bronkitis akut.
Penyebab pada Bronkitis Kronik dan Batuk Berulang adalah disebabkan oleh beberapa factor. Menurut Suparman et. All. (1999), ada 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronkhitis kronis yaitu rokok, infeksi, dan polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial
a. Rokok
Menurut buku report of the WHO’s expert committe smoking control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkhitis kronik
dan emfisema paru
b. Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun lebih berat. Infeksi saluran pernafasan bagian atas pada seseorang penderita bronkhitis kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah serta menyebabka kerusakan paru bertambah. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophillus Influenzae dan Streptococcus Pneumoniae Bronkitis dapat juga disebabkan oleh parasit seperti askariasis dan jamur. Bronkitis biasanya sering disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Respiratory Syncitial virus (RSV), virus influenza, virus para influenza, dan coxsackie virus. Bronkitis akut juga dapat dijumpai pada anak yang sedang menderita morbilli, pertusis dan infeksi mycoplasma pneumoniae (Ngastiyah; 1997).
c. Polusi dan factor non infeksi lain
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab penyakit diatas, tetapi bila ditambah merokok, resiko akan lebih tinggi Penyebab non infeksi lain adalah akibat aspirassi terhadap bahan fisik atau kimia. Faktor predisposisi terjadinya bronkitis akut adalah perubahan cuaca, alergi, polusi udara dan infeksi saluran nafas atas kronik memudahkan terjadinya bronkitis (Ngastiyah; 1997; 37).
d. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau
tidak, kecuali pada penderita dengan defisiensi alfa-1-antitripsin yang merupakan suatu protein
e. Faktor sosial ekonomi
Kematian pada penderita bronkhitis ternyata lebih banyak pada golongan ekonomi lemah
f. Hipotesis elastase-anti elastase
Didalam paru terdapat terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase supaya tidak ada kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan akan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru
2. Klasifikasi
a. Bronkitis Akut
Biasanya Bronkitis akut terajdi pada bayi dan anak, dan biasanya juga bersama dengan trakeitis, merupakan penyakit
saluran napas akut (ISNA) yang sering dijumpai.
b. Bronkitis Kronik dan atau Batuk Berulang
Bronkitis Kronik dan atau berulang adalah kedaan klinis yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit 3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik dan non respiratorik lainnya (KONIKA, 1981). Dengan memakai batasan ini maka secara jelas terlihat bahwa Bronkitis Kronik termasuk dalam kelompok BKB (Batuk Kronik Berulang) tersebut. Dalam keadaan kurangnya data penyelidikan mengenai Bronkitis Kronik pada anak maka untuk menegakkan diagnosa Bronkitis Kronik baru dapat ditegakkan setelah menyingkirkan semua penyebab lainnya dari BKB.
Bronkhitis kronik dapat dibagi atas :
1) Simple Chronic Bronchitis : bila sputumnya mukoid
2) Chronic / reccurent mucopurulent bronchitis : bila dahaknya mukopurulen
3) Chronic Obstructive Bronchitis : jika disertai dengan obstruksi saluran nafas yang menetap

C. Pathofisiologi
Kelainan utama pada bronkitis adalah hipertropi dan hiperplasia kalenjar mukus bronkus. Terjadi sekresi mukus yang berlebihan dan lebih kental. Secara histologis dapat dibuktikan dengan membandingkan tebalnya kalenjar mukus dan dinding bronkus. Angka ini dinamakan indeks Reid. Normal adalah 0,26. Pada bronkhitis kronik rata-rata 0,55. terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuklear, di sub mukosa trakeobronkhial, metaplasia epitel bronkhus dan silia berkurang. Pada penderita yang mengalami bronkhospasme, otot polos dan saluran bertambah dan timbul fibrosis peribronkhial. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran nafas kecil ( small airways ) yaitu hiperplasia sel gobet, sel radang dimukosa dan submukosa, edema peribronkhial, penyumbatan mukus intreluminal dan penambahan otot polos

PATHWAY /POHON MASALAH KEPERAWATAN





















Gambar 1.1 Patofisiologi dan Pathway Masalah Keperawatan

Gambar 1.2 Gambar perubahan anatomis saluran nafas akibat bronkitis (khususnya bronchitis kronik)


D. Manifestasi klinik
1. Tanda toksemi : Malaise, demam, badan terasa lemah, banyak keringat “Diaphoresis”, tachycardia, tachypnoe.
2. Tanda iritasi : Batuk, ekspektorasi/ peningkatan produksi sekret, rasa sakit dibawah sternum
3. Tanda obstruksi : sesak nafas, rasa mau muntah.

E. Prognosis
Bila tidak ada komplikasi prognosis bronkitis akut pada anak umumnya baik. Pada bronkitis akut yang berulang dan bila anak merokok (aktif atau pasif) maka dapat terjadi kecenderungan untuk menjadi bronkitis kronik kelak pada usia dewasa (Ngastiyah; 1997; 37).


F. Komplikasi
1. Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik
2. Pada anak yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan gizi kurang dapat terjadi Othithis Media, Sinusitis dan Pneumonia
3. Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi
4. Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasis atau Bronkietaksis


G. Pemeriksaan diagnostik
1. Sinar X dada : peningkatan tanda bronkovaskular
2. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
3. GDA : Pa O2 menurun dan PCO2 meningkat / normal
4. Bronkhogram : pembesaran duktus mukosa
5. EKG : Disritmia ditrial, peningkatan gelombang P pada lead I, II, III, AVF

H. Penatalaksanaan dan terapi
Untuk terapi disesuaikan dengan penyebab, karena bronkitis biasanya disebabkan oleh virus maka belum ada obat kausal. Obat yang diberikan biasanya untuk mengatasi gejala simptomatis (antipiretika, ekspektoran, antitusif, roburantia). Bila ada unsur alergi maka bisa diberikan antihistamin. Bila terdapat bronkospasme berikan bronkodilator. Penatalaksanaannya adalah istirahat yang cukup, kurangi rokok (bila merokok), minum lebih banyak daripada biasanya, dan tingkatkan intake nutrisi yang adekuat.
Bila pengobatan sudah dilakukan selama 2 minggu tetapi tidak ada perbaikan maka perlu dicurigai adanya infeksi bakteri sekunder dan antibiotik boleh diberikan. Pemberian antibiotik adalah 7-10 hari, jika tidak ada perbaikan maka perlu dilakukan thorak foto untuk menyingkirkan kemungkinan kolaps paru segmental dan lobaris, benda asing dalam saluran pernafasan dan tuberkulosis.
Berikut ini pengelolaan secara umum pada pasien bronchitis :
1. Penyuluhan
Sangat penting, diterangkan tentang hal-hal yang memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan yang baik
2. Pencegahan
a. Menghindari Rokok
b. Menghindari lingkungan polusi
c. Vaksin
3. Pengelolaan sehari-hari
Tujuan utama : untuk mengurangi obstruksi saluran pernafasan. Dapat dilakukan dengan Pemberian bronkhodilator :
a. Teophilin
b. Agonis 
c. Kortikosteroid
d. Mengurangi sekresi mukus
4. Fisioterapi dan rehabilitasi
a. Postural Drainage
b. Vibrasi
c. Perkusi
d. Purse lip breathing
5. Pemberian oksigen jangka panjang
6. Pengelolaan eksaserbasi akut, kegagalan pernafasan

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN BRONKITIS

A. Pengkajian
1. Riwayat penyakit masa lalu
Faktor pencetus timbulnya bronkitis (infeksi saluran pernafasan atas, adanya riwayat alergi, stress). Frekwensi timbulnya wheezing, lama penggunaan obat-obat sebelumnya (paling akhir), riwayat asthma, adanya faktor keturunan terhadap alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Peningkatan usaha dan frekwensi pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan (mungkin didapatkan adanya bentuk dada barrel/ tong), suara nafas (rales, ronchi, wheezing), peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, menunjukkan tanda dari terjadinya “failure respiratory” seperti diaporesis, kelelahan, penurunan kemampuan bereaksi “decreased responsiveness” dan cyanosis. Turgor kulit, ubun-ubun besar.
Perubahan pada pemeriksaan gas darah, perubahan pada eosinopil (pada hitung jenis darah), pemeriksaan pada foto thoraks.
3. Faktor pertumbuhan dan psikososial
Usia, seberapa jauh faktor pencetus mempengaruhi kehidupan sosial penderita, tingkat pengetahuan keluarga dan klien terhadap regimen pengobatan yang diberikan, mekanisme koping keluarga dan klien, kebiasaan yang dikaitkan dengan kenyamanan klien (waktu tidur, waktu istirahat dan benda kesayangan). Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya, kerabat keluarga dengan riwayat asthma.
4. Pengetahuan klien dan keluarga
Pengetahuan keluarga tentang pengobatan yang diberikan (nama, cara kerja, frekwensi, efek samping dan tanda-tanda terjadinya kelebihan dosis). Pengobatan non farmakologis “non medicinal intervenstions” seperti olahraga secara teratur serta mencegah kontak dengan alergen atau iritan (jika diketahui penyebab alergi), support sistem, kemauan dan tingkat pengetahuan keluarga.

B. Prioritas Keperawatan
1. Mempertahankan potensi jalan nafas
2. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
3. Meningkatkan asupan nutrisi
4. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit / prognosis dan program pengobatan

C. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Diagnosis Keperawatan 1
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronchospasme, edema mukosa, akumulasi mukus.
Batasan Karakteristik
a. Subjektif
Dispnea
b. Objektif
Bunyi napas tambahan (misalnya, ronki basah halus, ronki basah kasar, dan ronki kering), perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan, batuk tidak ada atau tidak efektif, sianosis, kesulitan untuk bersuara, penurunan bunyi napas, ortopnea, kegelisahan, sputum, dan mata terbelalak.
Hasil Yang Disarankan NOC
a. Status Pernapasan : Pertukaran gas : Pertukaran CO2 atau O2 alveolar untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri.
b. Status Pernapasan : Ventilasi : Pergerakan udara masuk dan keluar paru-paru.
c. Perilaku Mengontrol Gejala : Tindakan seseorang untuk meminimalkan perubahan sampingan yang didapat pada fungsi fisik dan emosi.
d. Perilaku Perawatan : Penyakit atau Cedera : Tindakan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan patologi.
Tujuan/Kriteria Evaluasi
Pasien akan mempunyai jalan napas yang paten, mengeluarkan sekresi secara efektif, mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang yang normal, mempunyai fungsi paru dalam batas normal, mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah.

Intervensi Prioritas NIC
Pengelolaan jalan napas : Fasilitas untuk kepatenan jalan udara
Pengisapan jalan napas : Memindahkan sekresi jalan napas dengan memasukkan sebuah kateter pengisap ke dalam jalan napas oral dan atau trakea.
Intervensi:
No. TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL

1








2.






3.





4.











5.




6.




7.






8.








9.







10.

















11.



12.






13.






14.




15.






16.






17. Mandiri
Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, mis.mengi, kretels, ronki.






Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi.





Catat adanya/derajat dispnea, mis.keluhan "lapar udara," gelisah, ansietas, distres, pernapasan, penggunaan otot bantu.


Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis.peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.








Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis.debu, asap, dan bantal yang berhubungan debgan kondisi individu.

Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.



Observasi karakteristik batuk, mis.menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keeftifan upaya batuk.


Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat. Amjurkan masukan cairan antara, sebagai pengganti m
akan.
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius, mis. Penyebaran, krekels basah (bronkitis), bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tak adanya bunyi napas (asma berat).

Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stera/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.

Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, mis.infeksi, reaksi alergi.

Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distres berat akan mencari posisi yang paling mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal,dll. membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.


Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode akut.



Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.

Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.

Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
Kolaborasi

Berikan obat sesuai indikasi.
Bronkodilator, mis.รŸ-agonis : epinefrin (Adrenalin, Vaponefrin); albuterol (Proventil, Ventolin); terbutalin (Brethine, Brethaire0; isoetarin (Brokosol, Brokometer);


Xantin, mis.aminofilin, oxtrifilin (Choledyl); teofilin (Bronkodyl, Theo-Dur)















Kromolin (Intal), flunisolida (Aerobid);


Steroid oral, IV, dan inhalasi; metilprednisolon (Medrol);deksametason (Decadral); antihistamin mis.berklometason (Vanceril. Beclonent); triamsinolon (Azmacort);

Antimikrobial;






Analgesik, penekan batuk/antisuif mis.kodein, produk dextrometorfan (Benylin DM, Comtrex, Novahistine).

Berikan humifikasi tambahan, mis.nebuliser ultranik, humidifier aerosol ruangan.




Bantu pengobatan pernapasan, mis.IPPB, fisioterapi dada.





Awasi/buat seri GDA, nadi oksimetri, foto dada. .
Merilekskan oto halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa. Obat-obat mungkin per oral, injeksi atau inhalasi.


Menurunkan edema mukosa dan spasme otot polos dengan peningkatan langsung siklus AMP. Dapat juga menurunkan kelemahan otot/kegagalan pernapasan dengan meningkatkan kontraktilitas diafrgma. Meskipun teofilin telah dipilih untuk terapi, penggunaan teofilin mungkin sedikit atau tak menguntungkan pada program obat รŸ-agonis adekuat. Namun, ini dapat mempertahankan bronkodilatasi sesuai penurunan efek dosis antar รŸ-agonis. Penelitian saat ini menunjukkan teofilin menggunakan korelasi dengan penurunan frekuensi perawatan di rumah sakit.

Menurunkan inflamasi jalan napas lokal dan edema dengan menghambat efek histamin dan mediator lain.

Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi alergi/menghambat pengeluaran histamin, menurunkan berat dan frekuensi spasme jalan napas, inflamasi pernapasan dan dispnea.

Banyak antimikrobial dapat diindikasi untuk mengontrol infeksi pernapasan/pneumonia. Catatan : meskipun tak ada pneumonia, tetapi dapat meningkatkan aliran udara dan memperbaiki hasil.

Batuk menetap yang melelahkan perlu ditekan untuk menghemat energi dan memungkinkan pasien istirahat.


Kelembaban menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran dan dapat membantu menurunkan/mencegah pembentukan mukosa tebal pada bronkus.


Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya sekresi/kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru. Catatan : Dapat meningkatkan spasme pada asma.

Membuat dasar untuk pengawasan kemajuan/kemunduran proses penyakit dan komplikasi.


2. Diagnosis Keperawatan II
Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-alveolar, ketidakseimbangan perfusi-ventilasi.
Batasan Karakterisitk
a. Subjektif
Dispnea, sakit kepala pada saat bangun, dan gangguan penglihatan.
b. Objektif
Gas darah arteri yang tidak normal, pH arteri tidak normal, ketidaknormalan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan, warna kulit tidak normal (misalnya, pucat dan kehitaman), konfusi, sianosis (hanya pada neonatus), karbon dioksiada menurun, diaforesis, hiperkapnia, hiperkarbia, hipoksia, hipoksemia, iritabilitas, cuping hidung mengembang, gelisah, somnolen, dan takikardia.
Hasil Yang Disarankan NOC
 Status Pernapasan : Pertukaran Gas : Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri.
 Status Pernapasan : Ventilasi : Perpindahan udara masuk dan keluar dari paru-paru.
Tujuan/Kriteria Evaluasi
a. Gangguan pertukaran gas akan terkurangi yang dibuktikan dengan Status Pernapasan : Pertukaran Gas dan Status Pernapasan : Ventilasi tidak bermasalah.
b. Status Pernapasan : Pertukaran Gas tidak akan terganggu dibuktikan dengan indikator gangguan sebagai berikut :
 Status neurologis dalam rentang yang diharapkan
 Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada
 Gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada
 PaO2, PaCO2, pH arteri, dan saturasi O2 dalam batas normal
 End tydal CO2 dalam rentang yang diharapkan.
Intervensi Prioritas NIC
a. Pengelolaan Asam-Basa : Meningkatkan keseimbangan asam basa dan mencegah komplikasi akibat dari ketidakseimbangannya.
b. Pengelolaan Jalan Napas : Memfasilitasi kepatenan jalan napas.

No. TINDAKAN/INTEVENSI RASIONAL

1.















2.














3.







4.







5.



6.













7.




8.








9.


Mandiri
Pantau :
 Status pernapasan tiap 4 jam
 Hasil GDA
 Nilai nadi oksimetri
 Kadar teofilin serum
 Laporan sinar x dada
 Hasil tes fungsi sputum dan pulmonal.








Berikan obat-obat yang diresepkan meliputi kombinasi dari bronkodilator, steroid dan antibiotik. Evaluasi keefektifannya. Jadwalkan obat-obatan untuk mempertahankan konsistensi kadar darah.








Tinjau kembali obat-obatan untuk menghindari interaksi merugikan obat dengan obat. Rujuk referensi farmakologis dan farmasis bila dibutuhkan.



Pertahankan posisi fowler's dengan tangan abduksi dan disokong oleh bantal atau duduk condong ke depan dengan ditahan oleh meja yang ditempatkan di atas tempat tidur.


Dorong pasien utnuk meningkatkan masukan cairan sekurang-kurangnya 3 L/hari.

Dorong pasien untuk melakukan napas dengan spirometer intensif tiap 2-4 jam. Beri atau bantu terapis pernapasan dalam melakukan fisioterapi dada yang diprogramkan, drainase postural dan tindakan aerosol sesuai dengan yang dibutuhkannya. Apabila pasien tidak mampu untuk batuk dan mengeluarkan sekret secara efektif, lakukan penghisapan nasotrakeal.



Hindari penggunaan depresan saraf pusat berlebihan (narkotik dan sedatif).


Anjurkan untuk berhenti merokok sekarang.







Usahakan suhu ruangan sejuk/nyaman. Untuk mengindetifikasi indikasi kenajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan. Karena kerusakan permanen yang telah terjadi pada sebagian paru akibat PPOM untuk mengharapkan nilai normal dari GDA dengan pH normal dan peningkatan nilai PaCO2 dan HCO2. ini seringkali menunjukkan kasus 50-50 karena nilai PaCO2 dan PaCO2 serupa.


Bronkodilator dapat membuka bronkus;steroid menurunkan inflamasi bronkial, dan antibiotik menghilangkan infeksi. Efek terapeutik yang diinginkan dari obat ini adalah resolusi dari manifestasi distres sistem dalam darah dari obat yang diresepkan paling baik untuk menjamin efektivitas terapeutik maksimum. Kadar teofilin serum dapat menentukan eek terapeutik agen dasar teofilin.

Kombinasi farmokoterapi meningkatkan risiko interaksi merugikan dari obat dengan obat. Interaksi yang merugikan dapat juga berpotensi mempengaruhi atau menghambat kerja satu agen.

Posisi tegak dengan lengan abduksi dan disokong, akan memungkinkan ekspansi paru yang lebih baik, dengan mengurangi tekanan abdomen pada diafragma melalui tekanan gravitasi.

Untuk membantu melepaskan sekresi bronkial dan koreksi dehidrasi.

Untuk mengeluarkan sekresi paru-paru dan menjamin kepatenan jalan napas.











Obat-obatan tersebut dapat menekan fungsi sistem pernapasan.


Nikotin yang terkandung dalam tembakau dapat mengakibatkan vasokontriksi dan kontriksi bronkus. Di samping itu asap rokok fungsi silia meningkatkan batuk dan dapat mengakibatkan menurunnya persen SaO2.

Udara sejuk memungkinkan bernapas mudah.
Kolaborasi
Konsultasi kepada dokter jika gejala-gejala tersebut menetap atau memburuk. Siapkan pasien untuk dipindahkan ke UPI dan untuk pemasangan ventilasi mekanis, jika terjadi gagal napas (kemunduran status mental, hipoksia berat dan hiperkapnia).

Berikan oksigen yang dilembabkan pada kecepatan aliran yang dianjurkan, biasanya 2 L/menit. Gagal pernapasan akut merupakan komplikasi utama yang sering menyertai PPOM. Ventilasi mekanis sangat diperlukan untuk membantu pernapasan sampai pasien dapat bernapas sendiri.


Pelembaban membantu mengeluarkan sputum yang menempel di bronkus dan mencegah kekeringan pada membran mukosa. Untuk pasien dengan PPOM, kendali hipoksia merupakan rangsang untuk pernapasan. PaO2 antara 50-70 mm Hg diperlukan untuk merangasang pernapasan. Terlalu banyak oksigen dapat menghentikan rangsang untuk bernapas dan menyebabkan henti napas. Frekuensi aliran oksigen per menit disesuaikan dengannilai PaO2 dan PaCO2.

3. Diagnosos Keperawatan III.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia sekunder akibat dispnea, halitosis, keletihan, ketergantungan kimiawi, penyakit kronis, kesulitan mengunyah atau menelan, faktor ekonomi, intoleransi makanan, kebutuhan metabolik tinggi, refleks mengisap pada bayi tidak adekuat, kurangnya pengetahuan dasar nutrisi, akses pada makanan terbatas, hilangnya nafsu makan, mual/muntah, pengabaian oleh orang tua, dan gangguan psikologis.
Batasan Karakteristik
 Berat badan kurang dari 20 persen atau lebih dari ideal terhadap tinggi badan dan kerangka
 Asupan makana kurang dari kebutuhan metabolik, baik kalori total atau nutrisi spesifik
 Kehilanmgan berat badan dengan asupan makanan adekuat
 Melaporkan asupan tidak adekuat kurang dari anjuran kecukupan gizi harian.
a. Subjektif
Kram abdomen, nyeri abdomen dengan atau tanpa penyakit, merasakan ketidakmapuan untuk mengongestikan makanan, melaporkan perubahan sensasi rasa, melaporkan kurangnya makanan, merasa kenyang segera setelah mengingestikan makanan, indigesti.

b. Objektif
Tidak tertarik untuk makan, kerapuhan kapiler, diare dan atau steotore, adanya bukti kekurangan makana, kehilangan rambut yang berlebihan, bising usus hiperaktif, kurang informasi, misinformasi, kurangnya minat pada makanan, miskonsepsi, konjungtiva dan membran mukosa pucat, tonus otot buruk, menolak untuk makan, luka, rongga mulut inflamasi, kelemahan otot yang dibutuhkan untuk menelan atau mengunyah.
Hasil yang Disarankan NOC
a. Status Gizi ; Tingkat zat gizi yang tersedia untuk memenuhi kenutuhan metabolik
b. Status Gizi : Asupan Makanan dan Cairan : Jumlah makanan dan cairan yang dikonsumsi tubuh selama waktu 24 jam.
c. Status Gizi : Nilai Gizi : Keadekuatan zat gizi yang dikonsumsi tubuh.
Tujuan/Kriteria Hasil
Menunjukkan status gizi : Asupan Makanan, Cairan, dan Zat Gizi, ditandai dengan indikator berikut :
 Makanan oral
 Pemberian makanan leat slang atau nutrisi parenteral total
 Asupan cairan oral atau IV
 Mempertahankan berat badan
 Menjelaskan komponen keadekuatan diet bergizi
 Menyatakan keinginan untuk mengikuti diet
 Toleransi terhadap diet yang dianjurkan

Intervensi Prioritas NIC
a. Pengelolaan Gangguan Makan : Pencegahan dan penanganan pembatasab diet yang berat dan aktivitas berlebih atau makan dalam jumlah banyak dalam satu aktu dan mencahar makanan dan cairan.
b. Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau pemberian asupan diet makanan dan cairan yang seimbang.
c. Bantuan Menaikkan Berat badan : Fasilitas pencapaian kenaikan berat badan.
Intervensi
No. TINDAKAN/iNTERVENSI RASIONAL

1.












2.






3.





4.




5.




6.



7.







8.







9.








10. Mandiri
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.









Auskultasi bunyi usus.






Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus sekali pakai dan tisu.



Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.

Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.



Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingain.


Timbang berat badan sesuai indikasi. Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat. Selain itu, banyakpasien PPOM mempunyai kebiasaan makan buruk, meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori. Sebagai akibat pasien sering masuk RS dengan beberapa derajat malnutrisi. Oarang yang mengalami emfisema sering kurus dengan perototan kurang.

Penurunan/hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukkan cairan, pilihan dengan peningkatan kesulitan napas.

Rasa tak enak, bau, dan penampilan adalah pencegah utama terhadap nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas.

Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.

Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan dispnea.

Suhu ekstern dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.

Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi. Catatan : Penurunan berat badan dapat berlanjut meskipun masukan adekuat sesuai teratasinya edema.
Kolaborasi
Konsul ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah cerna, secara nutrisi seimbang, mis.nutrisi tambahan oral/selang, nutrisi parenteral .

Kaji pemeriksaan laboratorium, mis.albumin serum, transferin, profil amino, besi, pemeriksaan keseimbangan nitrogen, glukosa, pemeriksaan fungsi hati, elektrolit. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi.

Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi. Metode makan dan kebutuhan kalori didasari pada situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi.


Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.






Menurun kan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan.



4. Diagnosis Keperawatan IV
Hipertermi berhubungan dengan bakterimia, viremia
Tujuan:
Suhu tubuh dalam batas normal setelah mendapat tindakan keperawatan dengan kriteria:
Suhu tubuh dalam batas normal, tekanan darah dalam batas normal, nadi dan respirasi dalam batas normal.
Intervensi:
No. TINDAKAN/iNTERVENSI RASIONAL

1




2



3


4



5



6 Mandiri
Jelaskan pada keluarga tindakan perawatan yang akan dilakukan.



Berikan kompres.



Anjurkan kepada keluarga dan klien untuk minum lebih banyak.

Anjurkan kepada keluarga untuk memakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat untuk klien.

Observasi tanda-tanda vital.
Pengetahuan yang memadai memungkinkan klien dan keluarga kooperatif terhadap tindakan keperawatan.

Penurunan panas dapat dilakukan dengan cara konduksi melalui kompres.

Hidrasi cairan yang cukup dapat menurunkan suhu tubuh

Penurunan suhu dapat dilakukan dengan tehnik evaporasi

Peningkatan suhu tubuh mencerminkan masih adanya bakterimia, viremia
Kolaborasi
Kolaborasi dalam pemberian antipiretik Antipiretik mengandung regimen yang bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus.


5. Diagnosis Keperawatan V
Kecemasan berhubungan dengan rasa sesak, penggunaan alat-alat medis yang asing (tak dikenal).
Tujuan:
Rasa cemas berkurang setelah mendapat penjelasan
Kriteria:
Klien mengungkapkan sudah tidak takut terhadap tindakan perawatan, klien tampak tenang, klien kooperatif.
Interevensi:
No. TINDAKAN/iNTERVENSI RASIONAL

1





2





3





Mandiri
Jelaskan pada klien setiap tindakan yang akan dilakukan.



Berikan motivasi pada keluarga untuk ikut secara aktif dalam kegiatan perawatan klien.

Observasi tingkat kecemasan klien dan respon klien terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Penjelasan yang memadai memungkinkan klien kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Peran serta keluarga secara aktif dapat mengurangi rasa cemas klien.


Deteksi dini terhadap perkembangan klien.


6. Diagnosis Keperawatan VI
Kurang pengetahuan (pengobatan, olah raga, alergen) berhubungan dengan terbatasnya informasi
Tujuan:
Keluarga memiliki pengetahuan yang cukup setelah mendapatkan penjelasan
Kriteria:
Keluarga mampu menjelaskan lagi tentang pengobatan dan penatalaksanaan pada klien Bronchitis dengan menggunakan bahasanya sendiri.
Intervensi:
No. TINDAKAN/iNTERVENSI RASIONAL

1






2




3



4



Mandiri
Jelaskan pada keluarga tentang pengobatan Bronchitis pada anak.



Jelaskan pada keluarga tentang olahraga yang dapat dilakukan.

Jelaskan pada keluarga tentang efek samping penggunaan obat-obatan.

Observasi pengetahuan keluarga tentang penjelasan yang diberikan oleh petugas.
Pengetahuan yang memadai memungkinkan klien dan keluarga mengerti tujuan dilakukannya pemberian terapi/ pengobatan.

Olahraga ringan dapat membantu meningkatkan compliance paru.

Mencegah terjadinya komplikasi akibat efek samping pengobatan.

Kemampuan keluarga dalam memberikan penjelasan mencerminkan tingkat pemahaman keluarga

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. L.D. (1997). Nursing diagnosis; application to clinical practice. 7th Edition. Lippincott. Philadelpia. New York.

Doenges, E . Marilyn . 2000 . Rencana Asuhan Keperawatan . Alih Bahasa I Made Kariasa S.Kp ; Ni Made Sumarwati S.Kp . Jakarta : EGC

Ngastiyah (1998). Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta

Soeparman, et. all. 1999 . Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta : Gaya baru
Soetjiningsih (1995). Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta.

http://askep-akper.blogspot.com

http://akperppnisolojateng.blogspot.com

http://sely-biru.blogspot.com/2010/03/konsep-dasar-definisi-bronkitis-kronik.html

http://botol-infus.blogspot.com/2010/07/askep-bronkitis.html

http://si-4bangku.blogspot.com/2008/07/konsep-dasar-bronkitis.html

ASKEP GUILLE BARE SYNDROME

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kesinergisitasan aktivitas gerak diatur oleh sistem persyarafan yang luar biasa kompleks. Sistem persarafan tersebut terdiri dari otak, medulla spinalis dan sistem syaraf perifer. Struktur-struktur ini bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengkoordinasikan aktivitas tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls saraf tersebut berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras secara langsung dan terus-menerus. Responnya seketika sebagai hasil dari perubahan potensial elektrik yang mentransmisikan sinyal-sinyal.
Secara umum semua rangsangan dari luar diterima oleh organ sensorik khusus yang dinamakan reseptor. Reseptor adalah organ akhir dari serat saraf aferen. Resetor ini terdiri dari reseptor pada kulit dan reseptor pada otot.
Suatu saraf terdiri dari satu atau lebih berkas serat saraf (akson). Sebuah saraf berukuran sedang dapat mengandung beribu-ribu serat saraf yang dikelilingi oleh selubung mielin dan beberapa diantaranya tak bermielin. Mielin adalah campuran senyawa lipid dan protein yang berfungsi untuk mempercepat konduksi. Konduksi ini menyebabkan rangsangan dapat segera dikirm menuju sistem saraf pusat untuk kemudian diproses dan menghasilkan respon gerak tubuh.
Apabila terjadi gangguan pada salah satu fungsi diatas maka hal tersebut akan mempengaruhi sistem gerak kita. Hal ini dapat mempengaruhi seluruh fungsi tubuh juga karena tak bias dipungkiri bahwa sistem persarafan menunjang kesiegenisitasan fungsi organ tubuh secara keseluruhan.
Banyak sekali sebab-sebab dan gejala dari gangguan sistem saraf yang sebenarnya amat penting untuk diwaspadai, namun karena kurangnya pengetahuan dari sebagian besar masyarakat kita maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan menjadi terabaikan.
Salah satu gangguan sistem persyarafan yang dapat terjadi adalah Guillain-Barre Syndrome. Guillain-Barre Syndrome (GBS; juga dikenal sebagai demielinasi polineuropati akut idiopatik) adalah dengan cepat, berkembang bentuk akut polyneuritis yang menghasilkan lembek, kelumpuhan sementara berlangsung selama 4 sampai 8 minggu. Motor, sensorik, dan fungsi otonom mungkin terlibat. Sindrom ini ditandai oleh peradangan difus atau demielinasi (atau keduanya) dari menaik atau menurun saraf perifer yang mengarah pada suatu penyakit virus dan kemudian kelumpuhan. Walaupun sindrom ini dianggap sebagai darurat medis, lebih dari 80% dari orang-orang yang terpengaruh dengan sindrom Guillain-Barre memulihkan kemampuan fungsional mereka sepenuhnya. Individu-individu yang tersisa memiliki beberapa derajat defisit neurologis setelah sembuh dari penyakit, yang mengakibatkan cacat kronis. Kurang dari 5% pasien dengan sindrom Guillain-Barre mati, dan biasanya, kematian berhubungan dengan komplikasi pernafasan.
Melihat komplektifitas masalah tersebut di atas, maka kami akan menyajikan salah satu gangguan sistem persyarafan yang dinamakan Guille Barre Syndrome yang mencakup etiologi, manifestasi klinis maupun asuhan keperawatan untuk dapat memberikan gambaran umum sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari dampak yang lebih buruk dari penyakit ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah:
a. Apa definisi dari Guille Barre Syndrome?
b. Apa dan bagaimana etiologi dari penyakit Guille Barre Syndrome?
c. Bagaimanakah Patofisiologi dan pohon masalah keperawatan penyakit Guille Barre Syndrome
d. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit Guille Barre Syndrome?
e. Bagaimana manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh penyakit Guille Barre Syndrome?
f. Bagaimanakah komplikasi penyakit Guille Barre Syndrome?
g. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit Guille Barre Syndrome?
h. Bagaimana asuhan keperawatan bagi penderita Guille Barre Syndrome?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah mendiskripsikan
a. Definisi dari Guille Barre Syndrome.
b. Etiologi penyakit Guille Barre Syndrome.
c. Patofisiologi dan pohon masalah keperawatan penyakit Guille Barre Syndrome
d. Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit Guille Barre Syndrome
i. Manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh penyakit Guille Barre Syndrome
j. Komplikasi penyakit Guille Barre Syndrome
k. Penatalaksanaan penyakit Guille Barre Syndrome?
l. Asuhan keperawatan bagi penderita Guille Barre Syndrome?

1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini secara umum adalah dapat memberikan gambaran secara umum tentang penyakit Guille Barre Syndrome beserta asuhan keperawatannya kepada perawat khususnya dan petugas kesehatan lain pada umumnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Guille Barre Syndrome (GBS) merupakan reaksi inflamasi yang terjadi pada susunan saraf tepi dan spinal cord yang disebabkan oleh serangan sistem imun tubuh penderita. Penyakit ini ditandai dengan kelumpuhan dan rasa kaku pada kaki, tangan dan makin lama menyebar luas pada tubuh bagian atas dan wajah. Kehamilan dan tindakan medis seperti vaksinasi atau pembedahan kecil dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya penyakit ini. Di Amerika Serikat angka kejadian Guille Barre Syndrome (GBS) cukup sedikit sekitar 1 sampai 3 setiap 100.000 sedangkan di Indonesia belum diketahui secara pasti angka kejadiannya.
Guille Barre Syndrome (GBS) merupakan peradangan neuritis demielinasi (disebut juga polineuropati) progresif dan akut yang mengenai sistem saraf perifer yang dapat menyebabkan gangguan kelemahan neuromuskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total tetapi biasanya paralisis sementara
Guillain-Barre Syndrome adalah gangguan kelemahan neuromuskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis sementara. Terdiri dari beberapa fase :
• Fase awal mulai dengan munculnya tanda-tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2-3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang.
• Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu.
• Fase penyembuhan mungkin berakhir 4-6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis sisa yang menetap.

2.2 Etiologi
Para ilmuwan sampai saat ini belum bisa memastikan faktor apa yang menjadi penyebab dari Guille Barre Syndrome (GBS). Tetapi ada anggapan bahwa penyakit ini disebabkan oleh keabnormalan sistem imun tubuh penderita. Sistem imun tubuh merusak sistem pertahanan yang melindungi saraf tepi (selubung myelin) yang menyebabkan terganggunya proses peghantaran sinyal dari saraf ke otot. Ketika hal ini terjadi otot menjadi tidak dapat merespon informasi dari saraf, sehingga terjadi kekakuan dan kelumpuhan. Pada otak juga ikut merasakan sensasi demam sehingga akan menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan panas, dingin, nyeri dan sensasi yang lain.
Tanda-tanda yang dikenali sebelum GBS terjadi adalah infeksi akibat bakteri atau virus. Sekitar 2-3 orang penderita disertai penyakit yang disebabkan oleh infeksi seperti infeksi tenggorokan, diare, demam, atau flu yang terjadi 1 minggu sebelum GBS terjadi. Infeksi karena bakteri seperti Campylobacter bisa menyebabkan GBS yang dapat menimbulakan dampak yang lebih parah daripada yang lain karena langsung menyerang persyarafan. Selain itu yang dapat menjadi faktor penyebab adalah tindakan medis seperti pembedahan dan imunisasi untuk influenza tetapi kecil sekali kemungkinannya.


2.3 Patofisiologi dan Pohon Masalah Keperawatan




Gambar 2.2 Kerusakan selubung mielin

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

2.4 Manifestasi Klinis
Terdapat variasi dalam bentuk awitannya. Gambaran umum seperti influenza, mula-mula terdapat demam akut, penderita merasakan nyeri kepala dan seluruh badan. Baru setelah beberapa hari disadari adanya kelumpuhan otot. Terjadinya kelumpuhan simetris pada kedua tungkai, kaki, dan tangan , paling sering dimulai dari kaki dan naik mengenai tubuh, ekstremitas atas dan otot-otot fasialis (berlangsung secara asendens).
Selain itu terjadi gangguan sensibilitas seperti rasa nyeri, prestesi, berkurangnya rasa permukaan kulit pada bagian distal ekstremitas. Gangguan sensibilitas ini sering kali tidak begitu menonjol seperti pada polyneuritis dan cepat menghilang sehingga kadang-kadangsangat menyerupai poliomyelitis.
Keadaan yang sangat berbahaya terjadi bila ada kelumpuhan otot-otot pernapasan. Bila saraf otak terkena akan ditemukan kelumpuhan pada otot kuduk, leher dan muka. Gejala yang juga umum ditemukan adalah hipertensi, bradikardi, gagal nafas, dan gagal jantung pada fase akut. Beriku tabel penjelas yang dapat mempermudah mengenai manifestasi klinis GBS

Tabel 2.1 Manifestasi klinis GBS
No Sistem Manifestasi
1 Motorik : - Kelemahan otot secara ascending (dari distal ke proksimal) flaccid parolysis tanpa atropi otot
- Penurunan atau tidak adanya reflek tendon dalam
- Gangguan pernapasan (dyspnea, penurunan suara napas)
2 Sensori : - Paresthesis (kesemutan)
- Nyeri (cramping)
3 Syaraf kronialis - Kelemahan otot muka
- Disphagia
- Diplopia

No
Sistem Manifestasi
4 Syaraf otonom : - Tekanan darah yang labil
- Disritmia jantung
- - Takikardia

Pada umumnya GBS tidak mempengaruhi tingkat kesadaran, fungsi serebral dan tanda gangguan pada pupil.

2.5 Komplikasi
a. Gagal pernafasan
Komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal nafas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
b. Penyimpangan kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastic yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
c. Plasmaferesis
Pasien GBS yang menerima plasmaferesis beriko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat mengakibatkan hipotensi, takikardi, pening dan diaphoresis. Hipokalemi dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami peresis ekstremitas distal, kedutan otot, dan mual serta muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pungsi lumbal berurutan
Memperlihatkan fenomena klasis dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal.
b. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi ( getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
c. Darah lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
d. Foto rontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernafasan, seperti atelektasia, pneumonia.
e. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.

2.7 Penatalaksanaan medis
GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien di unit perawatan intensif. Pasien yang mengalami masalah pernafasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk waktu yang lama. Plasmaforesis yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan buruk pada pasien dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol unutk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan unutk menghindari bradikardi selama penghispan endokranial dan terapi fisik.
a. Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmapheresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan/gejala.
Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari sistem imun) yang menyerang dan merusak lapsian myelin dan saraf-saraf perifer. Tidak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini, namun umumnya sekitar 3 – 5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah terapi selesai, pasien diberi 4 – 5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan faktor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3 – 5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai hari kelima maka terapi/tindakan ini tidak diulangi.
Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator. Masalah yang timbul dengan tindakan penggantian plasma antara lain:
- Biayanya mahal
- Dapat menyebabkan hipotensi, arrythmia, hematoma, thrombus dan komplikasi yang mengarah terjadinya sepsis.
- Membutuhkan perawat yang terampil.
b. Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut-turut.
c. Perawatan Supportif
1. Respirasi
- Monitor ketat frekuensi dan pola nafas
- Monitor oksimetri dan AGD
- Pernafasan mekanik : perawatan pasien dengan ventilator mekanik
2. Kardio Vaskular
- Monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR)
- Monitor tekanan darah (blood pressure)
3. Cairan, elektrolit dan nutrisi.
4. Sedative dan analgsik.
5. Perawatan secara umum
- Physioterapi
- Perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan.
- Pertahankan ROM sendi.
- Pertahankan fungsi paru.
- Kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- Pencegahan terhadap tromboemboli.
- Pemberian antidepressan jika pasien depresi.

BAB 3
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstrimitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kea rah atas. Hilangnya kontrol motorik halus.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris). Cara berjalan mantap.
b. Sirkulasi
Tanda : Perubahan tekanan darah (Hipetensi atau hipotensi).
Disritmia, takikardi / bradikardi Wajah kemerahan,
diaforesis
c. Integritas ego
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu konsentrasi pada masalah yang dihadapi
Tanda : Tampak takut dan bingung
d. Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan / cairan
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
f. Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari – jari kaki dan selanjutnya terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan).
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam
Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot –otot wajah, terjadi piosis kelopak mata (keterlibatan saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
g. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri tekanan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan
h. Pernafasan
Gejala : Kesulitan dalam bernafas, nafas pendek.
Tanda : Pernafasan perut, menggunakan otot Bantu nafas, apnea.
Penurunan / hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat / sianosis
Gangguan refleks gag / menelan / batuk.
i. Keamanan
Gejala : Infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira – kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Tanda : Suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan)
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parestesia.
j. Intraksi sosial
Tanda : Kehilangan kemapuan untuk berbicara / berkomunikasi
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran pernafasan atas, gastroenteritis), vaksinasi (campak, influenza, polio), keadaaan kronis (lupus eritematosus, penyakit Hodkin/ proses keganasan), pembedahan/anastesi, trauma umum.

3.2 Prioritas Keperawatan
a. Mempertahankan atau menyokong fungsi pernapasan.
b. Meminimalkan atau mencegah komplikasi
c. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat dan keluarga.
d. Mengendalikan atau menghilangkan nyeri
e. Memberi informasi tentang proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.
3.3 Tujuan Pemulangan
a. Fungsi pernapasan adekuat sesuai dengan kebutuhan individu.
b. Kebutuhan akan aktivitas sehari-hari dapat terpenuhi oleh diri sendiri atau dengan bantuan orang lain.
c. Komplikasi dapat dicegah atau dikontrol.
d. Kecemasan atau rasa takut menurun pada tingkat yang dapat ditoleransi
e. Nyeri menjadi minimal atau terkontrol
f. Proses penyakit atau prognosis, terapi dan kemungkinan adanya komplikasi dipahami.

3.4 Diagnosa Keperawatan dan intervensi keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1 : Pola napas atau bersihan jalan napas, tak efektif, berhubungan dengan kelemahan / paralisis otot pernapasan dan kerusakan reflek gag atau menelan.
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mendemostrasikan ventilasi adekuat dengan tak ada tanda distress pernapasan, bunyi napas bersih, dan GDA dalam batas normal.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau frekuensi kedalaman dan kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa. Peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik.
Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon pada T8 atau daerah lengan atas atau bahu. Penurunan sensasi seringkali (walaupun tidak selalu) mengarah pada kelemahan motorik; seperti kehilangan pada tingkat T8 dapat mempengaruhi otot interkostal. Oleh karenanya, tangan atau lengan yang terkena seringkali mengarah pada masalah gagal napas.
Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara (kalau pasien masih dapat berbicara). Merupakan indikator yang baik terhadap gangguan fungsi pernapasan atau menurunnya kapasitas vital paru.
Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronki, mengi. Peningkatan resistensi jalan napas dan/atau akumulasi sekret akan mengganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia).
Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi duduk bersandar. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret.
Evaluasi reflek batuk, reflek gag, atau reflek menelan secara periodik. Lakukan penghisapan sekret, catat warna dan jumlah dari sekret (sputum). Pertahankan puasa jika diperlukan. Jika otot kepala dan otot leher terkena, maka evaluasi ulang terhadap reflek tersebut harus dilakukan untuk mencegah aspirasi, infeksi pulmonal, dan gagal napas. Kehilangan kekuatan dan fungsi otot mungkin mengakibatkan ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan dan atau membersihkan jalan napas.
Teliti adanya laporan mengenai dispnea, nyeri dada, dan catat adanya peningkatan kegelisahan. Pasien ini sangat beresiko mengalami embolisme pulmonal (sebagai akibat dari pengumpulan vaskuler dan imobilisasi), yang memerlukan intervensi segera dan sokongan terhadap pernapasan untuk mencegah komplikasi yang serius atau kematian.
Pantau kapasitas vital, volume tidal, dan kekuatan pernapasan sesuai kebutuhan. Mendeteksi perburukan dari paralisis otot dan penurunan upaya pernapasan.
Siapkan untuk/ pertahankan intubasi, ventilator mekanik sesuai kebutuhan. 10%-20% pasien mengalami gangguan pernapasan yang cukup berarti yang memerlukan intervensi atau sokongan yang terus-menerus.
Berikan perawatan trakheostomi jika ada. Mungkin diperlukan untuk penatalaksanaan jalan napas dan sekresi. Trakeostomi “untuk bicara” mungkin diperlukan untuk memfasilitasi komunikasi, meskipun adanya kelemahan pada otot dan sekret yang timbul terus-menerus dapat membatasi keefektifannya.
Kolaborasi
Lakukan pemantauan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur. Menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan untuk keefektifan dari intervensi.
Lakukan tinjau ulang terhadap foto X-ray. Adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan/atau atelektasis.
Berikan terapi suplementasi oksigen (yang telah dilembabkan) sesuai indikasi, dengan menggunakan cara pemberian yang sesuai, seperti kanula, masker oksigen, atau ventilator mekanik. Mengatasi hipoksia. Pelembaban terhadap sekret (agar mudah dikeluarkan) dan menjaga kelembaban membran mukosa karena hal tersebut dapat menurunkan iritasi jalan napas.
Berikan obat atau bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan pernapasan, perkusi dada, vibrasi, dan drainase postural. Memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisasi sekret dan meningkatkan ekspansi alveoli paru.
Berikan terapi melalui tempat tidur kinetik sesuai indikasi. Pergerakan atau perubahan posisi yang kontinu dapat digunakan untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi dari bagian-bagian paru dan untuk mobilisasi sekret. Hal ini dapat menurunkan atelektasis dan resiko terjadinya infeksi paru dan emboli.

Diagnosa Keperawatan 2 :
Perubahan persepsi-sensori berhubungan dengan
1. Perubahan resepsi, transmisi, dan integrasi sensori
2. Perubahan status organ indera.
3. Ketidakmampuan berkomunikasi, bicara atau berespons.
4. Perubahan kimia (hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit).
Kemungkinan dibuktikan oleh :
1. Hipoestesia atau hiperestesia; nyeri.
2. Perubahan respon umum terhadap rangsang.
3. Inkoordinasi motorik.
4. Gelisah, peka rangsang, ansietas.
5. Perubahan pola komunikasi.

Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori.
2. Pasien dapat mempertahankan mental atau orientasi umum.
3. Pasien dapat mengidentifikasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan atau komplikasi sensori.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau status neurologis secara periodik (seperti kemampuan bicara, kemampuan berespon pada perintah yang sederhana dan berespon terhadap stimulasi nyeri; kesadaran akan keadaan panas atau dingin, tumpul atau tajam). Laporkan semua penemuan tersebut dalam tatanan yang teratur dan sistematik. Perkembangan dan munculnya kiembali tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringkali cukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari atau minggu. Proses penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit berakhir dan kebanyakan secara perlahan. Catatan yang teratur sangat membantu dalam perawatan untuk menemukan adanya komplikasi yang memerlukan intervensi atau evaluasi selanjutnya.
Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara, seperti metode kedipan (non verbal), dengan papan bergambar atau dengan huruf-huruf. Jika gejala tersebut berkembang dengan lambat, pasien dapat membantu untuk menciptakan metode komunikasi alternatif. Jika prosesnya cepat (beberapa jam atau hari), upaya yang konsisten dan konstan pada semua staf sangat diperlukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif.
Berikan lingkungan yang aman (penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal). Catat adanya kekurangan pada papan di ruangan untuk mewaspadakan semua staf mengetahuinya, seperti “adanya kehilangan sensasi dibawah........”. Kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari pemberian asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma.
Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien. Menurunkan stimulus berlebihan yang dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping.
Orientasikan kembali pasien pada lingkungan dan staf sesuai kebutuhan. Membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan.
Berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut; jam (waktu); televisi (berita atau pertunjukan); bercakap-cakap santai. Pasien (biasanya sadar) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan.
Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga. Membantu orang terdekat merasakan masuk didalam hidup pasien (menurunkan perasaan tidak berdaya atau tiada harapan) dan menurunkan kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut.
Tutup mata dengan cara memutar jika ada ptosis. Mempertahankan masukan penglihatan disamping menurunkan resiko terjadinya abrasi kornea.
Kolaborasi
Rujuk ke berbagai sumber penolong untuk membantu, seperti terapi fisik atau terapi okupasi atau terapi wicara, ahli agama, pelayanan sosial, departemen rehabilitasi. Semua pelayanan mengkoordinasikan usaha untuk meningkatkan proses penyembuhan atau meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis.
Bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan. Penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, fibrinogen dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien klasifikasi “berat” jika penanganan dalam 2 minggu.
Berikan obat sesuai kebutuhan, seperti :
Gamma globulin dosis tinggi melalui IV. Suatu hasil riset menyarankan hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat.
Kortikosteroid Penggunaannya masih kontroversial. Dapat memperbaiki gejala akut dengan mensupresi respon autoimun tetapi tidak tampak memberikan hasil yang diharapkan.

Diagnosa Keperawatan 3:
Perfusi jaringan, perubahan, resiko tinggi terhadap
1. Disfungsi sistem saraf autonomik, yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena.
2. Hipovolemia.
3. Berhentinya aliran darah vena (trombosis).
Kriteria Hasil : Pasien dapat mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol atau tak ada.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien. Perubahan pada tekanan darah (hipertensi berat atau hipotensi) terjadi sebagai akibat dari kehilangan alur dari saraf simpatik untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer (disfungsi otonom). Refleks pada tekanan darah saat perubahan posisi dapat terganggu yang menyebabkan terjadinya hipotensi postural.
Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia. Sinus takikardi atau bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf autonom simpatis atau tidak adanya hambatan terhadap refleks vagal yang menyebabkan henti jantung. Disritmia dapat juga terjadi sebagai akibat dari hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit atau penurunan cutah jantung (dampak sekunder pada gangguan tonus vaskuler dan arus balik vena).
Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman, berikan atau tanggalkan selimut, gunakan kipas angin ruangan dan sebagainya. Perubahan pada tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu (seperti, ketidakmampuan untuk berkeringat) dan pasien mungkin akan terpengaruh dengan suhu lingkungan sekitarnya. Penghangatan dan/atau pendinginan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah trauma karena kepanasan atau kedinginan karena banyak pasien kemungkinan telah mengalami gangguan sensasi.
Catat masukan dan keluaran. Relaksasi tonus vaskuler, perubahan cairan dan penurunan masukan oral dapat menurunkan volume sirkulasi dan secara negatif akan mempengaruhi tekanan darah dan keluaran urine.
Ubah posisi pasien secara teratur. Observasi adanya tanda-tanda iritasi pada kulit. Lakukan masase kulit diatas daerah yang menonjol. Pertahankan linen tetap kering, dan tata tidak ada lipatan-lipatan. Cuci dan bersihkan kulit dengan sabun yang lunak dan beri bedak (talk). Berikan pengalas pada kulit sesuai kebutuhan. Perubahan sirkulasi atau pengumpulan vaskuler dapat mengganggu perfusi seluler yang meningkatkan resiko iskemia atau kerusakan jaringan.
Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut atau kaki. Observasi adanya edema pitting (cekung), eritema atau adanya tanda Homan positif. Kehilangan tonus vaskuler dan vena yang statis meningkatkan resiko terbentuknya formasi trombus. Catatan: TVD (yang mungkin hilang sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman) dan menyebabkan emboli paru jika tidak terdeteksi dan ditangani dengan segera.
Kolaborasi
Berikan pengobatan:
Cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi Diperlukan untuk mengoreksi atau mencegah hipovolemia atau hipotensi tetapi harus digunakan secara berhati-hati sebab pasien dengan gangguan tonus vaskuler sensitif pada adanya peningkatan yang kecil dalam volume sirkulasi.
Beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek. Kadang-kadang digunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau gangguan mediasi autonom.
Heparin Digunakan untuk menurunkan resiko tromboflebitis.
Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti Hitung Darah Lengkap atau Hb/Ht, elektrolit serum. Hematokrit bermanfaat dalam menentukan hipovolemia atau hipervolemia. Hiponatremia dapat berkembang yang mengisyaratkan adanya komplikasi SIADH.
Berikan matras dengan tekanan pada tempat-tempat tertentu (matras angin yang bergelombang), terapi tempat tidur kinetik (tempat tidur yang dapat digerakkan atau diubah posisinya), sesuai kebutuhan. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah komplikasi pada kulit. Catatan: terapi kinetik diperkirakan secara lebih besar untuk meningkatkan perfusi atau fungsi organ dan untuk menurunkan komplikasi sebagai akibat dari imobilisasi.
Pakai stoking anti emboli atau alat pemijat kontinu; lepaskan sesuai jadwal dengan interval tertentu. Meningkatkan arus balik vena, menurunkan keadaan vena statis dan menghindari resiko terjadinya pembentukan trombosis.

Diagnosa Keperawatan 4 : Kerusakan atau gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan koordinasi (paralisis parsial atau komplit) dan penurunan tonus otot.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi (kontraktur, dekubitus).
2. Pasien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit.
3. Pasien dapat mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktivitas yang diinginkan.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji kekuatan motorik atau kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pegkajian secara teratur dan bandingkan dengan nilai dasarnya. Menentukan perkembangan atau munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan atau harapan pasien.
Catatan: Quadriplegia (paralisis simetris) umumnya terjadi dan membutuhkan intervensi yang menyeluruh.
Berikan posisi pasien yang memberikan rasa nyaman. Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual. Menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia atau kerusakan pada kulit.
Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trokhanter roll, papan kaki. Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis; mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi sendi.
Lakukan latihan rentang gerak pasif. Hindari latihan pasif selama fase akut. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi. Catatan: latihan yang dipaksakan dapat menimbulkan eksaserbasi gejala yang menyebabkan regresi fisiologis dan emosi. Persendian juga dapat mengalami dislokasi sehingga otot mengalami flaksid secara total. Memaksimalkan tenaga dan mencegah kelelahan yang berlebihan.
Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan. Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi, karenanya dapat memperpanjang waktu penyembuhan.
Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual, seperti duduk di sisi tempat tidur dengan sokongan, bangkit dari kursi, dan kemudian ambulasi sesuai kemampuan. Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap atau terprogram, meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif.
Berikan lubrikasi atau minyak artifisial sesuai kebutuhan. Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh yang halus ketika pasien tidak dapat menutup atau mengedipkan mata secara memadai.
Kolaborasi
Konfirmasikan dengan atau rujuk ke bagian terapi fisik atau terapi okupasi. Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual atau latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasikan alat bantu atau brace untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Diagnosa Keperawatan 5 : Konstipasi atau diare berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (kehilangan sensasi dan refleks anal), imobilitas dan perubahan pada masukan diet atau cairan.
Kriteria Hasil : Pasien dapat mempertahankan pola eliminasi usus tanpa ileus.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (tentunya jika pasien dapat menelan). Dapat melunakkan feses dan memfasilitasi eliminasi.
Berikan privasi dan posisi fowler pada tempat tidur (jika memungkinkan) dengan jadwal waktu secara teratur. Meningkatkan usaha evakuasi feses.
Auskultasi bising usus, catat adanya, atau tidak adanya, atau perubahan bising usus. Penurunan atau hilangnya bisisng usus dapat merupakan indikasi adanya ileus paralitik yang berarti hilangnya motilitas usus dan keseimbangan elektrolit. Hiperperistaltik mungkin akan tercatat jika ada diare sebagai efek samping dari makanan melalui selang NG atau karena terapi kinetik.
Catat adanya distensi abdomen, nyeri tekan (otot abdomen yang lemas). Ukur lingkar perut sesuai kebutuhan. Dapat mencerminkan perkembangan ileus paralitik atau adanya impaksi fekal.
Pantau adanya mual, muntah, penghentian feses. Kecepatan perkembangan pada ileus yang komplit dapat bervariasi tetapi dapat diperkirakan.
Periksa kembali adanya kesulitan defekasi karena feses yang keras atau karena penurunan atau sampai pada tidak adanya feses atau diare. Pengeluaran feses secara manual dengan hati-hati mungkin perlu, yang dilakukan bersamaan dengan intervensi lain untuk menstimulasi pengeluaran feses.
Kolaborasi
Beri obat pelembek feses supecitoria, laksatif, atau penggunaan selang rektal sesuai kebutuhan. Mencegah konstipasi, menurunkan distensi abdomen, dan membantu dalam keteraturan fungsi defekasi.
Tingkatkan diet makanan yang berserat atau perubahan kecepatan dan jenis dari makanan sesuai dengan kebutuhan. Membantu dalam mengatur konsistensi fekal dan menurunkan konstipasi (diare, konstipasi).
Pasang atau pertahankan selang NG jika ada kebutuhan. Menurunkan mual dan muntah dan melakukan dekompresi pada distensi abdomen yang berhubungan dengan hilangnya peristaltik, munculnya ileus paralitik.

Diagnosa Keperawatan 6 : Retensi urinarius berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (kehilangan sensasi dan refleks sfingter) dan imobilitas.
Kriteria Hasil : Pasien dapat mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih adekuat atau tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius.

Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Catat frekuensi dan jumlah berkemih. Memberikan informasi selama pengkajian dari fungsi kandung kemih.
Lakukan palpasi abdomen (diatas suprapubik) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih. Jika refleks sfingter tidak ada, kandung kemih akan penuh dan selanjutnya akan menjadi distensi.
Anjurkan pasien untuk minum paling tidak 2000 ml atau dalam batas toleransi jantung dan termasuk juga minum juice buah (contoh: krenberi) Mempertahankan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan resiko infeksi serta pembentukan batu pada saluran perkemihan.
Lakukan manuver Crede. Tekanan manual diatas kandung kemih dapat memfasilitasi pengosongan kandung kemih tersebut.
Kolaborasi
Lakukan kateterisasi pada residu urine (kateterisasi intermiten) sesuai kebutuhan. Memantau keefektifan dari pengosongan kandung kemih.
Pasang atau pertahankan kateter indwelling sesuai kebutuhan. Diperlukan untuk menanggulangi adanya retensi urine atau sampai terjadinya resolusi (perbaikan) dari GBS dan adanya perbaikan adekuat dari kontrol kandung kemih.

Diagnosa Keperawatan 7 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskular yang mempengaruhi refleks gagal atau batuk atau menelan dan fungsi GI.
Kriteria Hasil : Pasien dapat mendemonstrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi.

Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk, pada keadaan yang teratur. Kelemahan otot dan refleks yang hipo/hiperaktif dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NGT dan sebagainya.
Auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi abdomen. Perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis atau imobilisasi.
Catat masukan kalori setiap hari. Mengidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya.
Catat makanan yang disukai atau tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang dikehendakinya. Berikan makanan setengah padat atau cair. Meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak atau setengah padat menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan. Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan atau yang menyenangkan bagi pasien untuk terus berusaha sendiri. Beri bantuan atau beri makanan sesuai kebutuhan. Derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri. Harga diri dan perasaan kontrol oleh upaya yang diarahkan sendiri meskipun bila sangat terbatas.
Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi pada waktu makan, seperti memberi makan dan membawa makanan kesukaan pasien dari rumah. Memberikan waktu bersosialisasi yang dapat meningkatkan jumlah masukan makanan pada pasien.
Timbang berat badan setiap hari. Mengkaji keefektifan aturan diet.
Kolaborasi
Berikan diet tinggi kalori atau protein nabati, seperti eggnog. Makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
Pasang atau pertahankan selang NGT. Berikan makanan enteral atau parenteral. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu untuk menelan (atau jika refleks menelan atau gag mengalami kerusakan). Untuk pemasukan makanan, kalori, elektrolit, dan mineral.


Diagnosa Keperawatan 8 :
Ansietas (krisis situasional dan ancaman kematian), dapat berhubungan dengan:
1. peningkatan tegangan, gelisah, tak berdaya.
2. ketakutan tidak pasti, gelisah.
3. berfokus pada diri sendiri.
4. rangsangan simpatis.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat menerima dan mendiskusikan rasa takut.
2. Pasien dapat mengungkapkan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
3. Pasien dapat mendemonstrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
4. Pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur. Kaji kembali kemampuan pasien untuk menggunakan alat panggil lampu secara reguler. Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
Berikan perawatan primer atau hubungan staf perawat yang konsisten. Meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan.
Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan. Menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi.
Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyembuhan atau perbaikan. Membawa perasaan takut secara terbuka, memberikan kesempatan untuk mengkaji persepsi atau informasi yang salah dri pasien dan memberikan jalan dalam pemecahan masalah pada keadaan yang diharapkan.
Berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat. Pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakukan aktivitas. Pelibatan pasien dan orang terdekat dalam perencanaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap diri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.

Diagnosa Keperawatan 9:
Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, dapat berhubungan dengan:
1. Sensasi nyeri akibat sentuhan kulit halus.
2. Sakit, nyeri tekan pada otot atau sendi.
3. Perubahan tonus otot (flaksid, spastik).
4. Perilaku melindungi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol.
2. Pasien dapat mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
3. Pasien dapat mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Evaluasi derajat nyeri atau rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10. Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut (wajah tampak menahan sakit, menarik diri atau menangis). Menganjurkan pasien untuk “melokalisasi atau mengetahui kuantitas” nyeri yang menunjukkan adanya perubahan dan perbaikan.
Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakannya. Menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut.
Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual. Membantu pasien mendapatkan kontrol perasaan tidak nyaman secara konstan yang disebabkan oleh parestesia dan menurunkan kekakuan atau nyeri pada otot.
Lakukan perubahan posisi secara teratur. Berikan sokongan dengan bantal, busa atau dengan selimut. Membantu menghilangkan kelelahan dan tegangan otot.
Catatan: kadang-kadang pasien menghendaki untuk berbaring terlentang dalam posisi “frog-leg” (posisi seperti katak).
Berikan latihan rentang gerak secara pasif. Menurunkan kekakuan pada sendi.
Anjurkan atau instruksikan untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti visualisasi (menonton), latihan relaksasi yang berkembang, bimbingan imajinasi, biofeedback. Memfokuskan kembali secara langsung dari perhatian atau persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
Berikan obat analgesik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika. Berguna untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah dicoba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik (kecuali codein yang memiliki efek lebih kecil) harus dihindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan.
Bantu dengan terapi-terapi alternatif, seperti ultrasound, diatermia, dan menggunakan unit TENS. Kadang-kadang bermanfaat dalam menghilangkan ketidaknyamanan pada otot.

Diagnosa Keperawatan 10:
Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi, prognosis, dan tindakan berhubungan dengan
1. Kurangnya pemajanan.
2. Kesalahan interpretasi informasi.
3. Tidak mengenal sumber informasi.
4. Kurang mengingat atau keterbatasan kognitif.
Yang dibuktikan oleh:
1. Meminta informasi.
2. Pernyataan salah konsepsi.
3. Terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat berpartisipasi dalam proses belajar.
2. Pasien mulai perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam upaya rehabilitasi sebagai kemampuan individual.
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Mandiri
Tentukan tingkat pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi. Mempengaruhi pilihan terhadap intervensi yang akan dilakukan.
Tinjau kembali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya. Berikan literatur dalam bentuk tulisan mengenai masalah-masalah tersebut diatas. Pengetahuan dasar merupakan hal yang penting untuk membuat pilihan informasi dan berpartisipasi dalam upaya rehabilitasi. Meskipun gejala itu telah berlalu, pengaruh sisi mungkin masih tetap ada selama beberapa minggu, beberapa bulan bahkan mungkin lebih lama dari itu.
Anjurkan untuk mengungkapkan apa yang dialami, bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya. Meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada.
Identifikasi tindakan yang aman untuk menentukan defisit sensorik-motorik secara individual. Menurunkan resiko terjadinya trauma atau komplikasi yang sebenarnya masih dapat dicegah.
Bekerja dengan orang terdekat untuk menentukan peralatan yang diperlukan dalam rumah sebelum pasien pulang. Jika pasien dapat kembali ke rumah, perawatan dapat difasilitasi dengan alat bantu untuk mobilisasi, makan, dan mandi.
Tekankan pentingnya menghindari seseorang yang mengalami infeksi terutama infeksi pada saluran pernapasan atas. Pasien mengalami penurunan daya tahan tubuhnya dan beresiko mengalami infeksi.
Instruksikan dan bantu pasien atau orang terdekat dalam mempelajari rentang gerak dan latihan yang terkondisi, teknik memindahkan, mekanika tubuh yang baik, penggunaan alat bantu dan sebagainya. Meningkatkan kemandirian dan penyembuhan yang berkelanjutan. Proses ini seringkali berlangsung 4-6 minggu untuk remielinisasi dan sampai 2 tahun jika timbul quadriplegia.
Tinjau kembali tanda dan gejala yang memerlukan tindakan medis, seperti proses infeksi (infeksi saluran kemih, ISPA), retensi urine, konstipasi. Intervensi segera dapat mencegah atau meminimalkan komplikasi.
Diskusikan kebutuhan akan kontrol penyakit yang rutin. Perlu sekali untuk memantau perbaikan, mengidentifikasi kebutuhan terapi dan meningkatkan secara optimal proses penyembuhan. Penyembuhan biasanya baik, dengan berbagai derajat kelemahan atau atrofi, meskipun 1/3 mengalami gejala sisa yang menetap (hiperrefleksia, atrofi, kelemahan otot bagian distal, paresis pada wajah).
Rujuk pada sumber-sumber yang ada di komunitas, seperti homepice, pelayanan sosial, yayasan GBS (bila ada) Dukungan mungkin diperlukan oleh pasien dalam menata rumah dan sebagainya.



BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Guille Barre Syndrome adalah sindrom klinik yang penyebabnya masih belum diketahui secara pasti. Tetapi biasanya berhubungan dengan infeksi saluran nafas bagian atas atau virus traktus gastrointestinal yang menyebabkan transmisi impuls saraf diantara nodus perifer lambat. Sindrom ini berkembang dengan cepat tapi reversibel dengan karakteristik gangguan motorik dan paralisis. Penyakit ini dapat terjadi di usia muda atau tua, namun pada usia tua masa penyembuhannya biasanya relatif lebih lama.
Manifestasi klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini bervariasi dalam bentuk awitannya. Gejala neurologi diawali dengan paraestesia dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Gejala yang dapat timbul adalah hipertensi, bradikardi, gagal nafas dan jantung pada fase akut. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan resiko ketidakmampuan.
Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan ini antara lain pungsi lumbal berurutan, elektromiografi, pemeriksaan darah lengkap, foto roentgen dan pemeriksaan fungsi paru.
Asuhan keperawatan yang dilakukan terhadap penderita berorientasi untuk mengurangi dampak penyakit pada klien terhadap gangguan yang ditimbulkan. Diantaranya adalah gangguan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan aktivitas, gangguan pernafasan dan perfusi jaringan, perubahan persepsi sensori, gangguan pencernaan dan urinari, serta kecemasan yang dialami klien.

4.2 Saran
a. Perlu adanya keterlibatan keluarga dan kesabaran dalam penatalaksanaan penyakit ini karena fase pemulihan yang memakan waktu lama.
b. Peningkatan edukasi pada pasien dan keluarga dapat membantu proses pemulihan pada pasien secara umum.
c. Perlu adanya peningkatan keahlian dan pengetahuan bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan untuk klien GBS.

DAFTAR PUSTAKA


Carpenito L.J., 1998, Nursing Diagnosis Aplication to Clinical Practice, J.B. Lippincott Company, Phildelphia.

Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993.

Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Doris Smith Suddarth RN., 1991, The Lippincott Manual of Nursing Practice, 5th Edition, JB. Lippincott Company, Philadelphia.

Hudak dan Gallo, 1996, Perawatan Kritis, Edisi VI, Volume II, Penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.

Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.

Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002

TEOH, 1990, Intensive Care Manual, Third Edition, by Globe Press, Australia

Tucker,Susan Martin, Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
www.cdc.gov/flu/protect/vaccine/guillainbarre.htm
http://cuitytea.blogspot.com/2011/02/askep-pada-pasien-gbs.html
www.cdc.gov/flu/protect/vaccine/guillainbarre.htm

http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/gbs.htm

http://askep-askep.blogspot.com/2009_12_01_archive.html
http://duniakeperawatan2011.blogspot.com/2011/04/askep-gbs.htm askep GBS